Malam
waktu UK, Ambu.
Tenang
saja, kau bukan satu-satunya yang kukirimi surat kali ini. Aku baru saja
menulis untuk dua orang. Yang satunya surat pengunduran diri Zi untuk sebuah
perusahaan (kukirimkan agar jelas urusan pekerjaannya), satunya lagi untuk
orang KBRI yang bertugas di wilayah Brighouse, UK, dan namanya Lusi. Dia sempat
bertanya, aku tahu dari mana alamat tinggalnya, setelah kujawab secara detail,
kami pun memutuskan untuk berkomunikasi lewat surel dan memulai sedikit
obrolan, lalu di akhir perbincangan dia bilang, tak bisa melacak keberadaan
kau. Lihat Ambu, betapa aku begitu posesif mencari keberadaanmu yang masih saja
abu-abu. Maka ini adalah surat keempat yang kutulis untukmu, dan berharap
semoga kau membacanya ketika surat ini tergeletak di ambang pintu rumahmu.
Ambu, tahu
rasanya tertekan?
Aku bisa
memberitahumu, lewat kisah Zi. Meski luka yang diderita tiap orang berbeda,
meski seluruh duka yang didapat oleh orang penuh durjana, rasanya kisah Zi
adalah yang paling cocok untuk kau jadikan referensi tentang bagaimana
tersiksanya memunyai perasaan tertekan.
Kau tahu?
Cerita dongeng 1001 malam bagian lampu Aladin yang berkata, bahwa orang
beruntung selalu punya tiga kesempatan untuk meminta sesuatu. Lain lagi dengan
dongeng lokal Timun Emas yang di dalam cerita mendapat empat kesempatan untuk
lolos dari marabahaya. Sementara orang sukses di abad milenium bilang, kita cuma
punya satu kesempatan untuk bertindak. Tetapi Zi pernah berkata, dia punya lima
kesempatan untuk melakukan sesuatu. Sungguh liar biasa dan beruntung sekali,
ya. Sayang, kesempatan yang ditawarkan serasa fana dan maya. Zi tidak pernah
merasakan ada kesempatan baik yang datang padanya, dan ia tak pernah mendapat
kesempatan untuk melakukan sesuatu yang teramat ia inginkan. Zi sungguhlah
perempuan malang yang kerap dirundung duka. Dia selalu ingin memaki, meraung
dan menangis dengan sedu-sedan, tetapi selalu ia batalkan dan menukarnya dengan
senyuman serta kecerewetan yang ia lahirkan dari bibirnya sendiri. Ia merasa
tak pantas bersedih. Ia merasa rugi mengeluarkan air matanya.
Kau tahu,
Ambu? Delapan September 2014 lalu, Zi pernah mencoba untuk bunuh diri saking
tertekannya dengan beban hidup yang ia hadapi. Apa saja deritanya, tak mau
kejelaskan. Biar saja cerita-cerita gelapnya kusimpan sendiri. Aku takut
menangis ketika menuliskannya untukmu, lalu surat ini akan penuh dengan noda
air mata, aku tak mau jika itu terjadi. Yah, pada September itu, ia menuliskan
sebuah surat, dan menyelipkannya di antara buku bacaan. Karena buku-bukunya ada
padaku, jadi dengan mudah kutemukan dalam novel salah satu karya Sidney
Sheldon. Dari surat itu kutebak, mungkin saja Zi benar-benar bunuh diri dan
sudah mati, karenanya kita tak pernah lagi melihat batang hidungnya.
Di surat
itu ia menuliskan, bahwa ia ingin sekali mengakhiri hidupnya lebih cepat dari
takdir, memutuskan nadinya agar tak lagi memunyai napas kehidupan, menghilangkan
kepedihan dengan cara melompat, karena kematian seperti itu menyenangkan,
serasa terbang tanpa perlu memakai sayap atau baling-baling.
Setelah
membacanya, gegas aku mencari segala info tentang kematian itu. Ah, jika benar,
maka surat ini akan jadi surat terakhir karena urusan kita tentang Zi telah
selesai, Ambu. Tapi aku berharap semoga saja Zi masih hidup. Jadi pagi ini,
kudatangi lokasi yang pernah ramai karena ada berita bunuh diri, delapan
September 2014. Napasku sedikit tersengal ketika sepanjang jalan sibuk
memikirkan berbagai kemungkinan. Kasus bunuh diri itu berlokasi di gedung
perhotelan persis dekat rumah sakit Azra, jalan Padjajaran Bogor. Dan benar
adanya, seseorang telah loncat dari gedung setinggi tiga puluh meter. Aku
bertanya ke sana kemari tapi warga setempat serempak membisu soal ini. Hanya
ada satu yang berkata, “Dia loncat di lantai sepuluh dan kepalnya jatuh
duluan.” Rupanya ia mati seketika. Waktu kutanya apa korban itu perempuan atau
laki-laki, seorang lelaki berseragam polisi lewat di depan kami dan
narasumberku lari terbirit-birit.
Benar
saja, Ambu, seseorang telah mati saat itu.
Tempo
jantungku mulai lebih cepat dan gendang telinga seperti mendengar tabuh dari
dalam kepalaku, betapa pusing mendengarnya ribuan kali. Aku khawatir jika yang
bunuh diri itu benar Zi.
Aku sibuk
berkeliling mencari tahu, namun lagi-lagi nihil. Mereka seperti sudah
mengadakan kesepakatan untuk bungkam karena alasan yang tak bisa kumengerti.
Barangkali pihak hotel meminta warga agar tak menceritakannya, atau warga tak
mau dihantui, entahlah. Setelah aku menemui sedikitnya dua puluh orang, aku
beristirahat sejenak di dekat Jembatan Situ Duit, Jambu Dua. Kau tidak lupa,
kan? Di jembatan ini, kau pernah melempar uang lima ratus sebanyak tiga biji. Memang,
Jembatan Situ Duit ini terkenal sebagai jembatan yang mengabulkan permohonan
segala doa asal kita melemparkan koin lima ratus. Aku tahu, berdoa hendaknya
pada Tuhan, tapi apa salahnya melempar uang? Kuikuti jejak terdahulu untuk
melempar receh agar doaku terkabul. Selepas aku melempar lima koin, kulanjutkan
pencarianku dan akhirnya ada yang mau menjawab, bahwa yang mati itu seorang
lelaki berusia empat puluh enam tahun.
Syukurlah,
orang itu bukan Zi.
Hm, lalu
di mana Zi berada? Ambu, tidakkah kau penasaran ke mana Zi? Semua kerabat
mencarinya dan aku lelah ditanyai terus-menerus di mana ia berada.
Oh ya
Ambu, aku harus menutup surat ini, kalau kau penasaran, esok akan kukirimkan
lagi cerita tentang Zi. Sekarang aku harus pergi ke rumah sakit, anakmu sedang
diopname dan aku perlu datang untuk membesuknya, agar keadaan terbaru
tentangnya dapat kukabari melalui surat berikutnya. Ambu, jika kau masih sibuk
berkelana di Inggris, segeralah pulang dan berhenti mengejar mimpimu jika belum
juga tercapai. Kadang kita harus realistis untuk menerima kenyataan bahwa semua
yang kita mau tidak selamanya dapat terwujud.
Your faithfully,
Uni
Ps. Berita tentang kematian itu bisa kau baca di sini.
Kok, gue bacanya sedih ya. :(
BalasHapusDiksinya mantep. Jago nih! Ajarin dong. :D
Di ending, gue nggak setuju sama realistis. Tau, sih, impian nggak semua bisa terwujud. Apalagi jadi penulis. Di usia segini, mau kerja yang sesuai minat susah. Dan nggak bisa untuk makan. :') Tapi, seenggaknya setiap orang punya tujuan hidup. Ada mimpi yang harus dikejar. Jadi, jangan nyerah sampai akhir hayat. Wakakak, ini ngapa malah panjang. :/
liar biasa? LIAR BIASA? EMANG SENGAJA ATAU TYPO, JODOHKU? digetok*
BalasHapusMenarik, Uni!
BalasHapusAku menunggu kelanjutan kisah tentang Zi.
emang kampret ya, kalau lagi pingin tau sesuatu tapi orang2 di sekitar sepakat bungkam buat nggak ngasih tau. true story..
BalasHapusAku penasaran sama kisah Zi. Semoga kamu bisa bertemu dengan Zi lagi dan semoga Ambu membaca suratmu ini.
BalasHapus