Aku masuk ke
ruangan berukuran sedang, yang di dalamnya duduk seorang pria separuh baya,
berkemeja hitam dengan dasi kuning bercorak. Dengan langkah sedikit ragu, aku
menghampirinya.
"Bapak
memanggil saya?" Kataku setengah menunduk. Ia terkekeh, tangannya memberi
kode agar aku duduk di depannya yang dibatasi meja kerja. Ada sampai dua menit,
aku merasa pria yang paling disegani di kantor ini, menatapku, sebelum akhirnya
ia angkat bicara.
"Saya
sudah perhatikan kamu sejak lama. Kenapa kamu mau jadi orang yang
disuruh-suruh? Padahal semua orang di kantor ini punya pekerjaan sendiri,"
tanyanya pelan. Tangan kanannya mengusap-usap dagunya, sambil menunggu
jawabanku. Pikiranku kembali mengingat-ingat, setahun terakhir ini memang
sering kali disuruh mengerjakan apa yang bukan kewajibanku.
"Ah, pak.
Saya 'kan, mantan staf umum, sudah
sewajarnya. Lagipula, mereka senior," kataku dengan sopan. Ia terkekeh
lagi.
"Apa yang
kamu rasakan waktu disuruh-suruh?"
"Uhm...
Saya... Saya seperti menari, pak. Kesana-kemari seperti orang gila,"
jawabku seadanya. Pria itu mengusap dagunya lagi, seperti sedang
mempertimbangkan sesuatu. Aku yakin, ia pasti ingin menyuruhku juga.
"Hm. Buat
saya, kamu itu seperti Chandelier di
kantor ini. Menerangi sekeliling meski kamu rela terbakar,"
"Eh?
Istilah itu terlalu indah, pak. Saya seperti ba..."
"Kalau
kamu saya suruh sesuatu, kamu bersedia?" katanya memotong ucapanku.
Tubuhnya sedikit condong ke depan, setengah berbisik. Aku tahu, harus sadar
diri. Aku bukan siapa-siapa di sini, mana mungkin berani menolak. Apalagi,
mengingat segala kebaikan pria itu di masa lalu, yang telah menolongku hingga
mendapat pekerjaan ini, membuatku merasa banyak berhutang budi. "Bapak mau
minta tolong apa?"
Aku memerhatikan ia membuka laci
kerjanya dan mencari sesuatu. Lalu dikeluarkannya sebuah foto berukuran sedang,
menampilkan wanita dengan senyum gingsul; tunangan pria itu. Wanita itu
beberapa kali pernah singgah ke kantor ini.
"Kamu
kenal dia, kan?"
"I, iya.
Terus kenapa, pak?"
"Kemarin
malam saya membunuh dia di apatermennya."
"Kenapa?"
"Tak perlu
tahu."
"Oh."
"Nah.
Bisakah... Bisa saya minta tolong ke kamu? Katakan ke polisi, kalau kamu yang
melakukannya. Saya akan bayar berapa pun yang kamu minta. Keluargamu pasti
butuh banyak uang."
"Hah?!
Tapi, pak," kataku setengah melotot. Aku tak masalah mengerjakan sesuatu
yang bukan kewajibanku, tapi kalau
mengaku yang bukan perbuatanku, itu...
"800 juta.
Bagaimana? Kasihan adikmu kan, perlu uang iuaran, dan ibu lagi sakit,
bukan?" ujar pria itu setengah menyeringai. Pengharum ruangan beraroma
jeruk di ruangan ini seketika terasa memuakkan. Napasku memburu cepat dan
mataku mulai berkabut.
"Kamu Chandelier. Buatlah hidupmu bermanfaat untuk banyak orang,"
katanya dengan nada seperti memohon. Aku menelan ludahku sendiri. Perlahan,
pipiku basah oleh tetes-tetes air yang jatuh dari pelupuk. Aku menangguk
________________
412 kata tanpa judul dan catatan kaki
Setor prompt #72 MFF
pict was taken from here
Saya ikutan emosi baca ini. Dengan mengabaikan clip chandelier yg jadi prompt ini berhasil
BalasHapusWah, terima kasih kak, sudah baca. Masih ada plot bolong nya nih.
Hapuswah.. di jauh berbeda dengan yg lain
BalasHapusIya, aku kayaknya beda sendiri, nih, kak :|
HapusBos yang jahat :(
BalasHapusIya, manfaatin pegawainya yang polos. Kesel ih!
HapusDrama banget nih...
BalasHapusBanget. Semoga realita nggak ada yang kayak gini.
HapusInterpretasi yang sama sekali berbeda, Uni. Dan keren!
BalasHapusMakasih, bang. Kritiknya ada?
Hapus