1/ Kami acap beradu argumen, tentang siapa yang lebih baik untuk memimpin, dan siapa yang bagusnya mengurus keperluan internal seperti keuangan, catatan menu yang harus dimakan, dan daftar belanjaan yang mestinya ada dalam to-do-list. Ah, kami berdua begitu mendominasi dan sering sentimentil di beberapa minggu setiap bulan.
2/ Aku mengalah. ''Baiklah," kataku. Aku membiarkan dia memimpin hubungan kami, memberi arah, mengatur apa-apa yang tidak boleh dilakukan, dan menjadi nahkoda dalam rumah tangga kami. Selebihnya aku yang mengurus, menjadi navigator. Sandang, pangan, papan, dan segala kebutuhan berdua lainnya biar aku yang mengatur. Ah, bagian nafkah biar kami kerjakan bersama-sama, begitu katanya.
3/ Rumah kami letaknya di sebelah pesisir pantai, jauh dari hiruk-pikuk permasalahan orang kota yang sibuk dengan banyaknya perbedaan atau hal yang bertentangan. Kami benci itu. Di sini kami bebas melakukan apa yang kami mau, dan aku membiarkan ia beribadah di hadapan Yesus sementara aku melipat mukena setiap lima waktu. Tak masalah, cinta memang tidak dapat dibebat.
4/ Sesekali ia ke lautan mencari ikan dan tangkapannya akan kujual di pasar. Di sana, kami memiliki banyak teman. Mereka, penduduk sekitar sini, begitu ramah pada kami yang baru tinggal selama enam bulan. Hanya saja mereka selalu menganggap aku adiknya. Hm, kuhela napasku panjang, aku harus sabar. Yang penting kami hidup damai.
5/ Suatu hari sepulang dari pasar aku melihatnya terjebak di dalam rumah. Penduduk sekitar membawa obor, mengayunkan kencang ke arah rumah kami. Di depan pintu kulihat kekasihku. Matanya nanar, penuh pilu, aku pun seperti tersayat sembilu. "Sesama perempuan menikah?! JAHANAM! BAKAR!" Kata mereka. Belum sempat aku menyeretnya keluar, si jago merah melahap rumahku, rumah di mana masih ada dia di dalamnya.
:'(
BalasHapusWaw galaw :D
BalasHapus