Bola mata Sonia menangkap tatapan lelaki yang sedang memerhatikan langkah kakinya saat berjalan nyaris mendekati lelaki tersebut. Tapi saat itu Sonia terus berjalan, melewatinya, dan berharap tak bertegur sapa. Sebab Sonia sadar, kenangan yang mereka bangun begitu meluber sampai sulit dibendung.
Ini terjadi ketika senja dan langit begitu kusam, lantas rintik mulai turun rebas-rebas setelah hampir tiga bulan kota ini dilanda kekeringan. Hiruk pikuk sekeliling membuat Sonia menundukkan kepalanya dan terus berjalan menjauhi dia, tanpa tahu apakah sudut mata lelaki itu masih mengekor langkah kakinya, atau sudah berpaling melihat wanita lain yang lalu lalang di hadapannya.
Dalam penglihatan Sonia, tanah merah yang retak di beberapa sudut mulai menyatu terkena rembesan air yang turun dari langit. Serakan daun lontar menghampar sepanjang jalan, genangan air mulai meninggi, serupa kenangan yang semakin tinggi dalam gugusan ingatan.
Hari itu sebetulnya tidak terlalu kelabu. Tapi hati Sonia terasa semu. Bergegas Sonia duduk di kantin terdekat, menunggu hujan mereda sehingga ia bisa melanjutkan perjalanan pulang. Tapi angin semakin kencang dan hujan rusuh mengetuk-ngetuk atap. Sonia merasa di kepalanya ada sekumpulan serdadu yang sedang berperang sehingga ia merasa pusing berada di keramaian.
Dulu ia seorang sanguinis yang mencintai pesta dan hura-hura, belakangan menjadi seseorang yang entah kenapa kesulitan berada di keramaian. Daun telingannya mulai mendengar suara pekikkan beberapa wanita karena kebasahan bercampur deru motor yang melaju dan asapnya membuat kantin menjadi berkabut, serta bising klakson mobil yang tidak sabaran terdengar sering kali. Namun, ada yang lebih berisik dari itu semua; Suara-suara gaduh dan tumpang tindih meneriaki sesuatu. Datangnya dari dalam kepala dan Sonia menjadi kesakitan, mulai mual dan ingin menangis.
Tapi rasanya air mata Sonia telah mengering karena telah menangis hebat dua tahun silam, pada pertengahan bulan September 2012.
Kala itu, ia menumpahkan segala keluh kesahnya pada lelaki tadi. Lelaki yang ia lalui dan mata mereka bersitatap tapi tidak saling sapa.
Sebut saja dia D ; seorang lelaki yang kehadirannya tidak disukai oleh kekasih Sonia di masa itu. Kekasihnya begitu murka sebab lelaki inilah yang selalu ada untuk Sonia, sementara ia tak bisa melakukan itu.
Ada beragam rasa yang pada saat itu tidak bisa Sonia pahami, tetapi tiap-tiap Sonia bertemu D, kekasihnya akan diam sepanjang hari dan senyumannya tidak ditunjukkan di hadapan Sonia. Bagaimana tidak marah, D, lelaki itu pernah dini hari datang ke rumah Sonia. Pukul tiga kurang saat ayam di pekarangan rumah pun belum membuka mata. Itu terjadi selama tiga hari berturut-turut degan alasan paling bisa diterima; bekerja di tempat yang sama.
"Teman dekat kamu siapa, yang jemput siapa. Gimana toh, nduk," begitu kata ibu Sonia, beberapa detik sebelum mereka berpamitan pergi. Lalu desas-desus tentang hal hal yang tidak terjadi, mulai terdengar. Cerita lain mulai menyebar bahkan lebih cepat penyebarannya dari sebuah virus. Mereka mengatakan Sonia telah menyia-nyiakan kekasihnya. Atau kalimat lain mengatakan dia meninggalkan kekasihnya demi D. Ah, andai saja mereka tahu bahwa selama ini kekasihnya itu yang tidak pernah ada untuknya.
Kemudian sampai di hari itu.
Hari di mana airmatanya mengalir lebih deras dari hujan di senja sekarang ini. Ia sesenggukan dan sadar betul bahwa ia tak mungkin tampil cantik dalam keadaan seperti itu. Dan ketika semua sedang terjadi, D adalah orang pertama yang datang, merangkul dengan lembut dan tidak bicara atau bertanya apa pun.
Sonia tak peduli dengan reaksi D, tak merasa perlu cantik di depannya, ia pun sudah siap berhenti menangis, tetapi D diam saja, memberikan sebungkus tisu setelah dua jam setengah ia puas menangis. Sejak itu, Sonia merasa nyaman dan begitu aman bersama lelaki itu. Menangis karena apa? Kau sebagai pembaca pasti tahu tanpa perlu diceritakan. Yang jelas, setelah itu Sonia tidak lagi memiliki kekasih.
Baca di sini alasan kenapa Sonia menangis :
Hujan mereda. Beberapa orang keluar kantin dan menengadahkan tangan, menerka tetes hujan yang jatuh. Sonia ikut keluar, berjalan menghindari riak air agar kaus kakinya tidak kebasahan. Ia sempat berbalik dan mencari keberadaan D, tapi nihil. Ia ingat, dulu, di tempat di mana lelaki tadi duduk -saat berpapasan tadi, di sana pernah Sonia dan kekasihnya duduk berdua bercerita apa saja. Hanya duduk, bercerita seadanya, ditemani segelas kopi dan secangkir teh hangat. Setiap melihat tempat tersebut, ada percikan kecil seperti bara kembang api. Sonia takut akan ada api menyala hingga sanggup membakar hatinya. Itu alasannya mengapa Sonia enggan menyapa D di sana. Ada memori yang jika dibuka, seperti muncul ribuan jarum yang siap menusuk ulu hati.
Dia jadi teringat. Pada suatu malam, selepas makan malam bersama kekasihnya dulu, Sonia mengatakan hal yang seharusnya tidak perlu dibahas.
"D memberikan aku sebuah lagu, dia yang menulis lirik dan menyanyikannya." Kata Sonia setelah meneguk segelas air mineral.
"Lalu?"
"Aku anggap ini sebagai hadiah, tak apa kan, kusimpan?"
"Berapa lama lagunya?"
"Sekitar empat menit, utuh satu lagu."
Orang yang ia cintai saat itu, diam saja. Ekspresinya tidak terbaca. Tapi semenjak itu emosinya mudah tersulut, beberapa kali seorang kawan pernah mengabarkan ada pertikaian antara kekasihnya dan D.
Perlahan, sorot matanya mulai tajam, dan senyumannya yang paling indah telah menghilang.
Begitu berbulan-bulan lamanya, hingga di bulan Mei mereka memutuskan berpisah, dan keputusan itu diambil tepat di tempat di mana D duduk -saat bertemu tadi.
______
Sonia mempercepat langkahnya, khawatir hujan turun lagi dan ia tak mau kehujanan. Kondisi demam yang bersemayam dalam tubuhnya belum benar-benar pergi. Tapi daya pikirnya saat ini begitu lambat, malah sibuk mengingat-ingat D.
Ia menyesal tak bertegur sapa. Ada sesuatu yang berbeda dari lelaki itu. Lebih bersih, auranya lebih bahagia. Sonia menyukai laki-laki yang bersih. Ia senang melihat temannya terlihat lebih bahagia. Pada D, tak ada tatapan perfeksionis atau menghakimi-- yang menyebalkan seperti saat kali pertama mereka kenal, dan barusan penampilannya begitu santai. Ini berbeda dari beberapa bulan lamanya, karena ia lebih sering memakai kemeja dan hal-hal lain berbau formal.
Ah, semua memang telah berubah. Sonia menjadi tak terurus, lebih kurus, terlalu menutup diri. Sementara D semakin hari semakin terlihat baik. Hanya saja keakraban mereka pun berubah. Tidak ada lagi pesan-pesan memerintah agar Sonia makan, atau tidak pulang larut malam, atau tidak boleh tidur terlalu pagi.
Tidak ada lagi dikarenakan, mungkin, D terlalu lelah menegur tanpa diindahkan, atau sudah menyerah mengingatkan. Sonia sadar ada sesuatu yang hilang dalam kesehariannya sejak D berhenti memberi pesan-pesan, dan... begitu saja.
Mereka memutuskan saling diam, tidak bertegur sapa, berhenti menumpuk kenangan. Sebetulnya tidak masalah, bukan? Sebab seorang teman tidak akan pernah benar-benar selalu ada untuk temannya, dan hati Sonia tak perlu risau.
Hujan lagi.
Gegas Sonia masuk ke dalam taksi dan menyebutkan tujuannya. Dari dalam mobil terdengar lantunan lagu 'Berhenti di Kamu' milik Manji dan sang sopir membesarkan sedikit volumenya.
Hari ini sungguh aneh, hujan datang tiba-tiba padahal suhu di kota ini masih 30° . Hari ini memang aneh, bertemu D dalam keadaan yang tidak pas dan hati Sonia sedang dalam keadaan kebas.
"Pak... Saya punya seorang teman lelaki yang sangat baik. Saya tidak sanggup membayar seluruh kebaikannya. Apa yang harus saya lakukan?" tanya Sonia pada sopir taksi yang menyetir dengan santai.
"Teman?"
"Iya, teman. Saya harus bagaimana ya, pak?"
Hening. Hanya terdengar alunan musik dan muncul seulas senyuman yang diberikan sang sopir. Alih-alih berpikir arti senyuman itu, Sonia memilih berpaling melihat pemandangan di luar.
Sonia suka sekali dengan hujan. Dan setiap bertemu D, hujan selalu turun.
Tidak ada komentar:
Ada pertanyaan atau kamu ada masukan?
Ditunggu komentarnya!:)