Lampu sen dari ojek yang kutumpangi cukup terang untuk memperlihatkan Bapak dengan seseorang di teras rumah. Lagi, setiap jam sepuluh malam, sepulang aku kerja, orang itu mendatangi bapak. Berbekal gincu merah, senyumnya merekah saat melihatku turun dari motor. Segera kubayar ongkos ojek dan melangkahkan kaki ke dalam rumah.
"Ah, Rena sudah pulang. Hari ini cantik sekali pakai kemeja hijau." Matanya nyalang melihatku.
"Kalau gitu saya pamit dulu ya Pak. Ingat, waktunya sudah dekat,"
Si bibir merah - begitu pangilanku, pamit pada bapak dan melenggang pergi dari rumah. Aku masuk ke dalam, menghempaskan tubuhku di sofa ruang tamu. Tak lama, setelah mengunci pintu depan, bapak mengekor ulahku.
"Kau sudah 20, loh."
Kata bapak memulai pembicaraan. Selalu. Setiap aku pulang kerja, bapak mengingatkan hal tersebut.
"Pak, Rena kerja keras. Gaji semuanya untuk bapak. Terus... Terus hutang bapak juga akan terbayar. Tenang aja. Jangan paksa aku ikut ke rumah prostitusi si bibir merah itu!"
Nada suaraku meninggi. Aku tahu itu. Bapak menunggu lama sampai usiaku dua puluh. 'Bapak' yang memungutku saat sekarat, berharap akulah satu-satunya yang bisa membawa keberutungan.
"Rena, jangan lupa. Justru kamu hidup untuk menjadi salah satu dari mereka. Hanya itu satu-satunya cara kau membalas budi."
Aku terdiam. Rahang mengeras dan tenggorokanku tercekat. Bapak memang tak pernah menyayangiku. Mungkin baginya aku hanya barang dagangan.
"Kalau tahu begini, lebih baik aku tak pernah selamat, pak,"
Tidak ada komentar:
Ada pertanyaan atau kamu ada masukan?
Ditunggu komentarnya!:)