Untuk kamu yang usianya lebih muda, tapi tak lebih manja dariku,
Ini merupakan tulisan pertama untukmu. Ya, tiba-tiba aku merasa bahwa menulis surat untukmu adalah sebuah keharusan.
Baru saja, malam kemarin kita terakhir bertemu, mengobati rindu, bercerita hal seru, membongkar aib tanpa malu, dan bermain tak jemu-jemu.
Beberapa minggu sebelumnya sempat chit-chat tentang orang (yang menurut kita) jahat, jalan-jalan ke suatu tempat, makan ricis level empat, dan rewel ingin menemukan pasangan yang tepat.
Bulan-bulan sebelumnya kita mengahbiskan malam di Jakarta hanya berdua, malah tertawa di tengah kota (kamu menertawakan aku menenteng wedges sepanjang perjalanan dari Senayan-Strasiun Sudirman, Menertawakan aku yang terus menambah porsi otak-otak ikan di pinggir jalan, mengejek wajahku yang kumal), lari kesana-kemari mencari lokasi acara, selalu membagi cerita di dalam kereta, padahal sebelum berangkat kamu hangus dada.
Tahun sebelumnya adalah saat di mana kita mengenal pertama kali, entah bagaimana itu terjadi, kita saling mengisi, menciptakan dunia sendiri, saling menerima kekurangan dalam diri.
Kamu masih ingat itu semua? Menghitung mundur momen pertemanan kita ternyata mengasyikkan. Dan aku baru menyadari betapa aku menejemukan karena bercerita melulu. Kamu, jangan bosan dengan segala kecerewetanku ya. Dan apa yang orang katakan tentang kita?
Pertemanan beda usia?
Menyimpang?
Saudara?
Aku bosmu?
Apalagi?
Tidak usah di pedulikan, cantik. Aku serius berteman denganmu karena aku cocok. Kamu tahu lah, aku tak sembarang cocok dengan orang lain. Memilih makanan saja aku susah, apalagi memilih teman jalan. Aku juga tahu bahwa kamu yang -supersensitif-tapi-tidak-peka- pilih-pilih dalam mencari teman jalan. Dan aku suka, karena kamu mau terima semua jelek buruknya aku, apalagi-soal-keterlambatan-yang-sering-terjadi- .
Setelah selama ini kita berteman, kamu ada keluhan? Aku...
Tidak ada.
Tapi aku tidak suka kalau ada yang membicarakan kamu secara negatif. Aku memang bukan menjadi orang yang ada di barisan depan untuk membela kamu, tapi aku akan jadi orang pertama yang memberitahumu secara terang-terangan soal berita apa saja tentangmu, dan memberi pandangan soal apa saja yang mestinya kamu lakukan. Aku tidak akan menuntutmu menjadi ini itu, bukankah kamu suka dengan hal demokratis?
Singgungan lain adalah, aku ingin melakukan negoisasi denganmu. Apa yang harus aku katakan pada orang ketika mereka bertanya "Siapanya Uni?" Aku bingung. Sepertinya kita tak butuh gelar sahabat, musuh, atau saudara, bukan? Selama kita nyaman bersama-sama, gelar itu tidak.dibutuhkan, iya kan?
Segini saja ya, suratku. Semoga surat cinta ini menyadarkanmu bahwa kamu sebenarnya bisa melakukan hal-hal yang awalnya kamu anggap tidak bisa. Bahwa kamu seharusnya bisa tegas dalam mengambil suatu keputusan. Bahwa kamu tidak perlu selamanya mengatakan 'iya' jika tidak sanggup. Tenang, pelan-pelan saja. Semua butuh proses, bukan? Aku pun pernah berada di posisi itu dan sekarang aku sudah melewatinya.
Jadi, saat pagi ini kamu menyuruhku berangkat pagi demi bertemu denganmu, aku bisa saja bilang "tidak mau," karena aku baru terbangun dari mimpi panjang. Tapi itu tidak kulakukan, aki sedang bergegas untuk segera menemui kamu. Aku bukanya tidak bisa bilang 'tidak', tapi aku tidak mau.
Omong-omong, selamat pagi, Nunki. Semoga ada tukang cilok hari ini. Aku lapar.
menyenangkan sekali baca ceritanyaaa... perasaan sayangnya bener-bener dituang di tulisan :')
BalasHapus