Aku sedang sibuk mendengarkan lagu One Republic 'Counting stars' dan kudengar ponselku berdering.
"Bisa ketemu?"
Hanya pesan itu yang tertera pada layar ponselku. Dari orang yang selama ini kurindukan. Dari dia, yang setiap menit kuingat. Aku mengetik salah satu tempat yang biasa kami temui beberapa tahun silam. Entah, untuk saat ini, bagiku bertemu dia bukanlah suatu hal buruk. Aku bergegas menuju tempat yang sudah kujanjikan. Lagipula, masa laluku dengannya sudah tertinggal jauh selama empat tahun. Semua rasa sakit hati sudah terkubur dalam, sudah lebur di dalam tanah.
•••
"Terima kasih mau datang."
Aku bahkan belum duduk tapi dia sudah mengatakan terima kasih, sambil menundukkan kepalanya, enggan melihatku. Aku terkekeh. Duduk senyaman mungkin seraya melepas sweaterku. Sweater pemberiannya dulu.
"Ada yang bisa kubantu? Sori aku telat dua menit. Parkir motor dulu barusan, lama."
Ucapku pelan. Sedikit berbohong. Aku tak mungkin bilang kalau tadi aku lama di kamar mandi hanya untuk meyakinkan diriku bahwa aku sudah cantik maksimal demi bertemu dengannya. Dia lamat-lamat menatapku. Kedua tangannya dimasukkan di dalam saku celananya. Dia gugup bertemu denganku, aku tahu itu.
"Nggak papa. Bagaimana kabarmu, Leony? Sehat? Sudah makan?"
Ucapnya pelan dan hati-hati. Halah. Aku tahu ucapan pembuka ini. Dulu sampai sekarang, aku masih suka jika ia bertanya seperti itu.
"Ada yang bisa kubantu?" Aku mengulang pertanyaanku, mengabaikan pertanyaannya.
"Eh... Itu.. uhm..."
Dia berhenti sejenak. Tangan kirinya mengusap keringat di dahinya. Sementara tangan kanannya masih bersembunyi di dalam saku. Dia tidak berubah, masih tampan dengan setelan kemeja yang kubelikan dulu -yang kini ia kenakan. Membuatku melambung tinggi karena ia masih memakai kemeja itu. Dia, Egi. Sosok terbaik yang pernah ada di masa laluku. Sosok yang menajdi nomor satu dalam hidupku, dulu. Kini semua berubah dan aku masih berharap di masa depanku tetap dia yang terbaik. Semoga saja pertemuan ini akan membuat jalan kami menadi lebih lancar. Aku tahu aku terlalu berharap. Tapi apa lagi maksudnya dia, kalau bukan untuk memintaku kembali padanya? Terlebih dia memakai kemeja pemberianku dulu.
"Ada yang bisa kubantu, Gi?" Lagi, kuulangi pertanyaanku. Dia sedikit gelisah. Berusaha mengatur tempo bicaranya. Dia kembali mentapku lamat, menelan ludah.
"Kenapa sih? Kamu kesini bukan mau bikin aku sakit hati untuk yang kesekian kali nya kan? Apa yang bisa kubantu? Kamu ngomong aja, nggak papa."
Aku mulai tak sabar. Entahlah. Sekarang rasanya sangat tidak nyaman duduk berhadapan dengan orang yang susah berbicara walau hanya sepatah kata. Aku sungguh tak menyesal kami sudah berpisah, namun tak memungkiri kalau aku memang masih menginginkan kami untuk kembali bersama.
"Aku cuma mau kasih ini." Akhirnya dia bersuara. Tangan kanannya naik ke atas meja dengan kotak persegi panjang. Seperti kotak kipas. Bukan, seperti kalung. Bukan, tunggu. Itu seperti kotak liontin. Apakah...
"Ini apa?"
"Buka saja."
Aku ragu mengambilnya. Dia bukan memintaku untuk kembali kan? Dia bukan mau melamarku dengan kalung liontin, kan. Mungkinkah... Jantungku mulai berdegub kencang. Ya Tuhan. Engkau sungguh mengabulkan doaku untuk bisa kembali bersamanya.
Perlahan, aku mengambil kotak persegi panjang yang berwarna merah. Kubuka dan di dalamnya terdapat secarik kertas dari karton soft duplek yang digulung. Kubuka perlahan. Dan aku terhenyak. Seketia penglihatanku kabur. Ini undangan penikahan dia,
dengan orang lain.
"Bisa ketemu?"
Hanya pesan itu yang tertera pada layar ponselku. Dari orang yang selama ini kurindukan. Dari dia, yang setiap menit kuingat. Aku mengetik salah satu tempat yang biasa kami temui beberapa tahun silam. Entah, untuk saat ini, bagiku bertemu dia bukanlah suatu hal buruk. Aku bergegas menuju tempat yang sudah kujanjikan. Lagipula, masa laluku dengannya sudah tertinggal jauh selama empat tahun. Semua rasa sakit hati sudah terkubur dalam, sudah lebur di dalam tanah.
•••
"Terima kasih mau datang."
Aku bahkan belum duduk tapi dia sudah mengatakan terima kasih, sambil menundukkan kepalanya, enggan melihatku. Aku terkekeh. Duduk senyaman mungkin seraya melepas sweaterku. Sweater pemberiannya dulu.
"Ada yang bisa kubantu? Sori aku telat dua menit. Parkir motor dulu barusan, lama."
Ucapku pelan. Sedikit berbohong. Aku tak mungkin bilang kalau tadi aku lama di kamar mandi hanya untuk meyakinkan diriku bahwa aku sudah cantik maksimal demi bertemu dengannya. Dia lamat-lamat menatapku. Kedua tangannya dimasukkan di dalam saku celananya. Dia gugup bertemu denganku, aku tahu itu.
"Nggak papa. Bagaimana kabarmu, Leony? Sehat? Sudah makan?"
Ucapnya pelan dan hati-hati. Halah. Aku tahu ucapan pembuka ini. Dulu sampai sekarang, aku masih suka jika ia bertanya seperti itu.
"Ada yang bisa kubantu?" Aku mengulang pertanyaanku, mengabaikan pertanyaannya.
"Eh... Itu.. uhm..."
Dia berhenti sejenak. Tangan kirinya mengusap keringat di dahinya. Sementara tangan kanannya masih bersembunyi di dalam saku. Dia tidak berubah, masih tampan dengan setelan kemeja yang kubelikan dulu -yang kini ia kenakan. Membuatku melambung tinggi karena ia masih memakai kemeja itu. Dia, Egi. Sosok terbaik yang pernah ada di masa laluku. Sosok yang menajdi nomor satu dalam hidupku, dulu. Kini semua berubah dan aku masih berharap di masa depanku tetap dia yang terbaik. Semoga saja pertemuan ini akan membuat jalan kami menadi lebih lancar. Aku tahu aku terlalu berharap. Tapi apa lagi maksudnya dia, kalau bukan untuk memintaku kembali padanya? Terlebih dia memakai kemeja pemberianku dulu.
"Ada yang bisa kubantu, Gi?" Lagi, kuulangi pertanyaanku. Dia sedikit gelisah. Berusaha mengatur tempo bicaranya. Dia kembali mentapku lamat, menelan ludah.
"Kenapa sih? Kamu kesini bukan mau bikin aku sakit hati untuk yang kesekian kali nya kan? Apa yang bisa kubantu? Kamu ngomong aja, nggak papa."
Aku mulai tak sabar. Entahlah. Sekarang rasanya sangat tidak nyaman duduk berhadapan dengan orang yang susah berbicara walau hanya sepatah kata. Aku sungguh tak menyesal kami sudah berpisah, namun tak memungkiri kalau aku memang masih menginginkan kami untuk kembali bersama.
"Aku cuma mau kasih ini." Akhirnya dia bersuara. Tangan kanannya naik ke atas meja dengan kotak persegi panjang. Seperti kotak kipas. Bukan, seperti kalung. Bukan, tunggu. Itu seperti kotak liontin. Apakah...
"Ini apa?"
"Buka saja."
Aku ragu mengambilnya. Dia bukan memintaku untuk kembali kan? Dia bukan mau melamarku dengan kalung liontin, kan. Mungkinkah... Jantungku mulai berdegub kencang. Ya Tuhan. Engkau sungguh mengabulkan doaku untuk bisa kembali bersamanya.
Perlahan, aku mengambil kotak persegi panjang yang berwarna merah. Kubuka dan di dalamnya terdapat secarik kertas dari karton soft duplek yang digulung. Kubuka perlahan. Dan aku terhenyak. Seketia penglihatanku kabur. Ini undangan penikahan dia,
dengan orang lain.
Tidak ada komentar:
Ada pertanyaan atau kamu ada masukan?
Ditunggu komentarnya!:)