"Terus, waktu kamu tahu dia bukan ibu kandungmu, gimana?"
Siska bertanya pelan. Matanya menatap sayu kearah Selvi. Ia mengantuk. Dua hari ini waktunya dihabiskan untu mendengar isak tangis sahabatnya. Kali ini air mata Selvi tidak mengalir, sudah mengering selepas magrib. Matanya sembab dan bibirnya kelu. Ia memutuskan untuk lebih lama di kamar Siska.
"Ya terus... Kamu mau di sini sampai berapa lama, Vi? Mau sampai kapan nyusahin aku plus ngotorin bantal pake aer mata kamu?"
Tidak serius, memang. Siska tak pernah keberatan kalau sahabatnya itu bermalam di rumahnya. Hanya kali ini, dia agak keberatan membiarkan Selvi menginap dengan alasan 'tak mau bertemu lagi dengan ibunya'. Puh. Sungguh tidak logis.
"Selvi, denger aku. Apa yang membuat kamu kesini?"
"Ya... Sudah jelas kan. Ternyata aku bukan anak kandungnya. Buat apa aku ada di rumahnya lagi. Aku benci, Sis. Aku benci kenapa ibu tidak pernah bilang sejak aku kecil..."
Siska menarik oksigen dalam-dalam, lalu mengempaskan karbondioksida ke udara melalui mulutnya. Di ambilnya pemantik api. Menyalakan sebatang rokok. Lalu mulutnya mengepulkan asap karbonmonoksida.
"Terus? Kamu selama ini emangnya tersiksa? Nggak bahagia?"
Tanya Siska malas. Selvi hanya diam. Tangannya sibuk mengibaskan asap yang mampir di hadapannya.
"Vi, denger ya. Nggak peduli ibu kandung atau bukan, sedarah atau nggak, yang namanya seorang ibu itu pasti sayang sama anaknya. Mereka punya stok kasih sayang tak terbatas. Kenapa juga kamu pusingin sih?"
"Bukan gitu Sis, ta-tapi..."
"Yang masakin kamu makanan siapa, yang ngasih jajan, yang matikan lampu sebelum tidur, yang mengingatakan kamu belajar... Ibu kamu kan? Terus setelah kamu tahu dia bukan ibu kandung, kenapa?! Kenapa dipermasalahkan sih?"
Asap rokok kembali menguar di udara. Seakan kekesalan Siska lenyap ketika asap-asap tersebut keluar dari rongga hidungnya. Selvi semakin erat mendekap bantal. Tangan yang satunya sibuk mengibas. Mulutnya mulai membuka suara.
"Katamu tadi... Setiap ibu punya stok kasih sayang tanpa batas?"
"Ya."
"Bagaimana dengan... Uhm... Ibumu? Bagaimana dengan perasaan kamu yang ditinggal pergi ibumu?"
Selvi bertanya, memelankan nada suaranya. Takut-takut sahabatnya tersinggung. Selvi lamat-lamat menatap Siska yang matanya memerah. Ia tahu, Siska bukan menangis. Matanya memerah terkena kepulan asap.
"Kalau seorang ibu kehabisan stok itu, kita sebagai anak yang harus punya stok kasih sayang untuk mereka. Kalau mereka tak sayang kita, minimal kita sebagai anak harus menyayangi mereka. Ah, perasaanku beda dengan kamu. Aku kalau jadi kamu, nggak akan ninggalin rumah."
"..."
"Aku ya Vi, kalau jadi kamu... Aku akan peluk ibuku. Peluk, cium, dan terus sayangi mereka. Iya, ibu. Entah ibu sedarah, ibu tiri, ibu susu, ibu angkat, pokoknya orang yang bergelar ibu saat satu rumah dengan kita."
"Ta... Tapi Sis..."
"Apalagi dua hari lalu hari ibu. Hari di mana kamu ninggalin beliau."
Selvi kembali terdiam. Malas berdebat dengan Siska, malas pula membantah. Siska benar. Ia merasa bersalah telah meninggalkan rumah. Kenapa sih dia ini, main kabur begitu saja saat mengetahui kebenaran tersebut. Sekarang sudah malam, lebih baik ia menginap semalam lagi di rumah Siska. Esok, pagi-pagi, ia akan pulang dan meminta maaf kepada ibunya karena telah membentak beliau.
•••
Pagi ini ia bergegas pulang. Setelah berpamitan dengan Siska, ia mampir terlebih dulu ke toko bunga, membeli empat tangkai bunga mewar merah yang kelopaknya merekah malu-malu. Selvi sadar, seorang ibu yang suda membesarkannya memang harus dimuliakan. Memang sudah terlambat untuk mengatakan selamat hari ibu karena ini sudah lewat dari tanggal 22. Tidak, tunggu. Memang hari ibu sudah lewat, tapi tidak ada kata terlambat untuk mengatakan bahwa Selvi mencintai ibunya. Ia segera berlarian ke dalam rumah, hendak memeluk ibunya.
Tapi rumahnya sepi. Ibu tidak ada.
Siska bertanya pelan. Matanya menatap sayu kearah Selvi. Ia mengantuk. Dua hari ini waktunya dihabiskan untu mendengar isak tangis sahabatnya. Kali ini air mata Selvi tidak mengalir, sudah mengering selepas magrib. Matanya sembab dan bibirnya kelu. Ia memutuskan untuk lebih lama di kamar Siska.
"Ya terus... Kamu mau di sini sampai berapa lama, Vi? Mau sampai kapan nyusahin aku plus ngotorin bantal pake aer mata kamu?"
Tidak serius, memang. Siska tak pernah keberatan kalau sahabatnya itu bermalam di rumahnya. Hanya kali ini, dia agak keberatan membiarkan Selvi menginap dengan alasan 'tak mau bertemu lagi dengan ibunya'. Puh. Sungguh tidak logis.
"Selvi, denger aku. Apa yang membuat kamu kesini?"
"Ya... Sudah jelas kan. Ternyata aku bukan anak kandungnya. Buat apa aku ada di rumahnya lagi. Aku benci, Sis. Aku benci kenapa ibu tidak pernah bilang sejak aku kecil..."
Siska menarik oksigen dalam-dalam, lalu mengempaskan karbondioksida ke udara melalui mulutnya. Di ambilnya pemantik api. Menyalakan sebatang rokok. Lalu mulutnya mengepulkan asap karbonmonoksida.
"Terus? Kamu selama ini emangnya tersiksa? Nggak bahagia?"
Tanya Siska malas. Selvi hanya diam. Tangannya sibuk mengibaskan asap yang mampir di hadapannya.
"Vi, denger ya. Nggak peduli ibu kandung atau bukan, sedarah atau nggak, yang namanya seorang ibu itu pasti sayang sama anaknya. Mereka punya stok kasih sayang tak terbatas. Kenapa juga kamu pusingin sih?"
"Bukan gitu Sis, ta-tapi..."
"Yang masakin kamu makanan siapa, yang ngasih jajan, yang matikan lampu sebelum tidur, yang mengingatakan kamu belajar... Ibu kamu kan? Terus setelah kamu tahu dia bukan ibu kandung, kenapa?! Kenapa dipermasalahkan sih?"
Asap rokok kembali menguar di udara. Seakan kekesalan Siska lenyap ketika asap-asap tersebut keluar dari rongga hidungnya. Selvi semakin erat mendekap bantal. Tangan yang satunya sibuk mengibas. Mulutnya mulai membuka suara.
"Katamu tadi... Setiap ibu punya stok kasih sayang tanpa batas?"
"Ya."
"Bagaimana dengan... Uhm... Ibumu? Bagaimana dengan perasaan kamu yang ditinggal pergi ibumu?"
Selvi bertanya, memelankan nada suaranya. Takut-takut sahabatnya tersinggung. Selvi lamat-lamat menatap Siska yang matanya memerah. Ia tahu, Siska bukan menangis. Matanya memerah terkena kepulan asap.
"Kalau seorang ibu kehabisan stok itu, kita sebagai anak yang harus punya stok kasih sayang untuk mereka. Kalau mereka tak sayang kita, minimal kita sebagai anak harus menyayangi mereka. Ah, perasaanku beda dengan kamu. Aku kalau jadi kamu, nggak akan ninggalin rumah."
"..."
"Aku ya Vi, kalau jadi kamu... Aku akan peluk ibuku. Peluk, cium, dan terus sayangi mereka. Iya, ibu. Entah ibu sedarah, ibu tiri, ibu susu, ibu angkat, pokoknya orang yang bergelar ibu saat satu rumah dengan kita."
"Ta... Tapi Sis..."
"Apalagi dua hari lalu hari ibu. Hari di mana kamu ninggalin beliau."
Selvi kembali terdiam. Malas berdebat dengan Siska, malas pula membantah. Siska benar. Ia merasa bersalah telah meninggalkan rumah. Kenapa sih dia ini, main kabur begitu saja saat mengetahui kebenaran tersebut. Sekarang sudah malam, lebih baik ia menginap semalam lagi di rumah Siska. Esok, pagi-pagi, ia akan pulang dan meminta maaf kepada ibunya karena telah membentak beliau.
•••
Pagi ini ia bergegas pulang. Setelah berpamitan dengan Siska, ia mampir terlebih dulu ke toko bunga, membeli empat tangkai bunga mewar merah yang kelopaknya merekah malu-malu. Selvi sadar, seorang ibu yang suda membesarkannya memang harus dimuliakan. Memang sudah terlambat untuk mengatakan selamat hari ibu karena ini sudah lewat dari tanggal 22. Tidak, tunggu. Memang hari ibu sudah lewat, tapi tidak ada kata terlambat untuk mengatakan bahwa Selvi mencintai ibunya. Ia segera berlarian ke dalam rumah, hendak memeluk ibunya.
Tapi rumahnya sepi. Ibu tidak ada.
ahh, bagus cerpennya. dan endingnya bikin penasaran nih. ibunya kemana?
BalasHapuskalau ada waktu, main ke blogku juga ya