"PUNYAKU!"
Aku dan seorang pria yang memakai jaket berkupluk sama-sama berteriak. Tangan kami saling memegang komik yang kami temukan di rak paling ujung. Komik langka, berjudul POP CORN. Kalau aku melepaskan komik ini, aku tidak akan lagi menemukannya di rak manapun. Kami bersikukuh memegang komik seharga dua puluh empat ribu tersebut.
"Yang duluan liat gue!"
"Tapi aku duluan yang ambil!"
Kataku tak mau kalah. Tatapanku hanya terpaku pada komik yang sedang kuperjuangkan hak kepemilikannya, namun perlahan pandanganku berjalan kearah sepatunya, celana jeans-nya, kaus putih dan jaket biru dongker, dan tibalah saat aku melihat wajahnya yang... eh?
"Kok tiba-tiba lemes gitu tangan lo? Anyway, thanks. Komiknya mau gue bawa ke kasir."
Aku masih tercengang. Wajahnya... Melemaskan seluruh persendianku, membuat tanganku tak mampu menahan beban yang sedang kupegang. Dia membuka kupluknya, memperlibatkan rambut cepaknya yang masih basah. Aroma shampo menguar disekitar kami. Lalu dia segera bergegas menuju tempat pembayaran. Ayo Kiki berpikir! Pikir pikir pikir! Jangan sampai orang itu lepas dari jangkauan. Batinku.
"Tu.. tunggu!"
Dia menoleh. Aku tergugu. Aku mau apa? Ah, apa saja! Yang penting aku masih bisa bertemu dengannya. Peduli amat dengan komik yang sejak awal kupertahankan. Sekarang, hanya orang itu yang menjadi incaranku.
"Aku minta nomor ha-pe kamu. Supaya kalau kamu udah beli komiknya, aku bisa pinjam sebentar untuk baca. Sebentar saja. Atau kita bisa saling pinjam soalnya koleksi komikku sudah banyak dan-"
"Nih."
Dia memberikan secarik kertas yang sudah dibubuhi nomor teleponnya. Semudah itu. Inikah jodoh?
Dan dari pertemuan singkat itulah, aku mengenal namanya, Andri.
•••
Siang ini, dua bulan setelah kejadian perebutan kepemilikan, aku dan Andri duduk berhadapan di restoran macaroni panggang. Dia sudah selesai mmbaca komik Pop Corn milikku yang sengaja kubawa dari rumah.
"Lebih suka yang edisi sekarang ya, yang delux. Lebih tebal dan puas bacanya. Nggak nyangka lo koleksi komiknya juga, hahaha."
Andri tertawa. Dipukulunya kepalaku dengan komik yang ada di tangannya. Aku menghindar. Pukulannya tak kena.
"Jadi, lo kerjanya cuma pacaran sama setumpuk komik aja Ki?"
"Ih, nggaklah. Aku punya pacar kali. Komik itu cuma pengantar tidur aja. Kamu malah aneh, kok ada cowok yang suka komik ini? Ini kan salah satu komik cantik dan jadul banget. Keluaran tahun 90an dan aku rasa nggak semua orang suka. Apa ini komik kesukaan pacarmu?"
Aku cerewet sekali ya. Bukan. Sebenarnya aku tidak terlalu suka berbicara, tapi lelaki yang ada di hadapanku ini, membuatku merasa nyaman sekali.
"Gue udah putus. Lagian, komik ini hobi nya gue. Justru putus karna cewek gue ngerasa diduain sama komik."
"Terus?"
Aku menagih. Mulai tertarik. Apa tadi katanya, putus? Ahh...
"Iya, gue suka banget baca buku, baca komik, baca novel. Tapi mantan gue itu nggak suka, dia benci kalau waktu kosong gue dipakai baca, dia nggak suka kalau ngedate diajak ke toko buku.
Dia cantik, pintar, tapi lebih suka menuntut gue untuk selalu ada dan mengerti hobinya yang nggak masuk akal : nongkrong seharian di kampus. Seenggaknya, gue putus terhormat sih."
"Terhormat gimana maksudnya?"
Aku memotong. Dia meyeruput es jeruk yang gelasnya mulai mengeluarkan tetes-tetes embun karena suhu dalam gelas yang dingin.
"Waktu itu dia sobek-sobek komik gue. Dia bilang cemburu. Dia nyanya apakah gue lebih pilih dia atau pilih buku. Kalau gue pilih buku, dia mengancam putus dan mau bunuh diri. Dan gue memilih buku. Membiarkan dia pergi. Gue juga hapal gelagat dia. Nggak akan bunuh diri..."
"Hmm..."
"Jadi, di sinilah gue. Terperangkap dengan cewek yang ternyata sehobi baca komik kayak gue."
"Kita sama sih, aku juga putus dengan cara terhormat kok. Tadi aku bilang udah punya pacar, tapi dulu. Putus enam bulan lalu."
Kataku pelan. Dia menatapku. Mengendikkan bahu, membiarkan aku bercerita.
"Yah, aku sebenarnya penulis. Kamu lihat nggak novel-novel yang kutunjukkan sama kamu bulan lalu? Itu punyaku. Tapi aku nggak mau semua orang tahu."
"Bentar Ki. Nama penulisnya bukan Kiki, tapi Kabut Malam. Itu nama pena? Kok semacam alay sih! Tapi isinya bagus sih cuma yaaaa namanya ituloh..."
Andri mendengus pelan. Aku terkekeh. Masa' nama sekeren itu dibilang alay? Tak lama aku menggangguk, mengiyakan bahwa Kabut Malam itu namaku.
"Dia nggak suka kalau aku menghabiskan waktuku untuk menulis. Dia selalu malas membaca tulisanku, dan setiap kali membaca dia menjadi pencemburu paling akut. Merasa bahwa yang kutuliskan tentang seseorang. Padahal semua fiksi. Akhirnya kami putus."
"Terus, kalau obsesi untuk koleksi komik Pop Corn, ada kaitan sama mantan?"
Andri segera bertanya. Gantian aku yang menyeruput es kelapa yang sudah tinggal setengahnya.
"Nggak ada sih, itu cuma koleksi aja. Lagian aku kan bilang kalau komik buatku untuk pengantar tidur. Kan aku sudah pernah bahas bulan lalu. Jangan nanya mulu ah,"
"Oh iya, lupa lagi. Nih masukin komiknya sebelum kebawa di tas gue. Someday, pinjam lagi ya yang edisi berikutnya."
"Dateng aja deh kerumah, biar bebas bacanya."
•••
Andri. Yang sangat kebetulan, aku bisa berkenalan dengan cara yang aneh. Aku bersyukur karena otakku dapat bekerja cepat dalam bertindak. Tidak banyak perhitungan, tapi selalu mendapatkan apa yang kumau. Hari ini sepulang kuliah, aku segera menutup pintu kamar dan menyalakan laptop. Menulis untaian kalimat yang perlahan menyusun menjadi paragraf demi paragraf. Aku banyak sekali ide akhir-akhir ini. Dan banyak inspirasi yang kudapat selama jalan dengan Andri. Malah. Beberapa puisi yang kutulis bulan lalu, membahas tentang Andri.
Seperti magnet,
Saling menarik dan mendekat
Kalau begitu,
pastilah aku kutub utara
Dan kau kutub selatan
Dua kutub yang berbeda kemudian terpikat
Berdampingan untuk sementara waktu
Selama tidak ada yang memisahkan
Dua kutub akan selalu bersama,
Mendekat, melekat, begitu memikat.
Andri baik. Bisa dikatakan baik karena dia sudi mengantarku pulang walaupun rumah kami berjalan ke arah berlainan. Ramah pada ayah, sopan pada ibu, suka membawakan buah, sesekali membawa hadiah untuk adik bungsuku. Hanya saja terlihat dingin dan terututup ketika bertemu kak Denada. Mereka tidak dekat. Biasanya Andri pamit pulang sebelum kak Denada kembali dari kampus. Tak apa. Toh, setidaknya, aku bisa melihat adanya lampu hijau untuk Andri di keluarga ini.
"Ki, komik baru nih. Edisi delux juga. Sampulin dulu sebelum dibaca ya!"
Kak Denada setengah berteriak dari luar kamar. Dia tahu, kamarku pasti terkunci. Aku tak menanggapi, terus mengetik tiap diksi yang ada dalam otak.
•••
"Eh, Kabut Malam! Boleh minta sesuatu nggak?"
Andri menegurku. Aku yang sedang menatap layar laptop beralih melihat wajahnya.
"Jangan sebut nama itu! Kan nggak ada yang tahu. Mau minta tolong apaan sih?"
Dia di rumahku, sejak pukul sebelas. Dan sampai pukul dua siang ini, ibu serta ayah belum juga pulang dari rumah tante Rahma. Adik main dan kak Denada tentu saja kuliah. Aku, libur. Lalu memanfaatkan keadaan ini untuk lebih lama bersama Andri. Ah, aku sama sekali tidak keberatan jika dia seharian di rumah sambil melahap bacaan komik yang ada dalam jajaran rak buku di rumahku. Aku tidak seperti mantannya yang mencemburui buku-buku. Karena aku tahu, membaca itu sangat mengasyikan.
"Iya sorry. Mau.. uhm.. sometimes, lo tulis cerita tentang gue dong. Kalau dipajang di toko buku gue bakal nyuruh teman teman baca tapi tetap ngerahasian penulisnya kok!"
Aku tersenyum. Tak mengiyakan, tidak juga menggeleng. Dia tidak tahu, yang sedang kutuliskan setiap paragraf adalah tentag dia, tentang kami, tentang pertemuan bodoh, tentang harapanku.
•••
"Tuhan memang sutradara terhebat. Pembuat sekenario handal, dan pencipta paling pengertian. Pada setiap insan yang terlahir, Tuhan tetapkan pasangan yang tercipta dari rusuk yang sama dan akan menjadi jodoh paling baik walaupun sempat terpisah. Bisa jadi terpisah dan akan bertemu tanpa harus dicari. Saling bertemu di toko buku, memperebutkan komik, saling bersitatap, kemudian merasa bahwa inilah jodoh. Saling melengkapi, saling membantu, dan segalanya menjadi berkaitan. Tuhan memang sudah tahu, bahwa pada pertemuan itu, bisa saja ada pihak lain yang kelak menjadi pasangan hidup. Lalu pada waktu yang sudah ditentukan, mereka akhirnya bersama, tanpa ada yang menghalangi, tanpa ada dinding pemisah, berdua, seperti magnet, hidup bahagia sejak pernikahan digelar. Semua bahagia, semua tersenyum, kecuali satu. Karena untuk mengabadikan kebahagiaan, butuh satu atau beberapa pihak yang harus menderita. Dan yang satu itu, adalah aku. Karena menurut sekenario Tuhan, aku hanya menjadi jembatan antara kamu dan jodohmu itu. Tamat."
Andri menutup novel yang baru saja ia baca. Terhenyak. Ia sedikit menelan ludah. Mencoba mencerna paragraf terakhir novel tersebut.
"Ka-but Ma-lam. Namanya unik. Aku suka. Ceritanya juga bagus, aku tersentuh. Sayang banget sad ending. Mau kubuatkan kopi, sayang?"
Kak Denada muncul dari belakang tempat Andri duduk di ruang tengah. Ia melingkarkan lengannya ke leher Andri. Jemari lentik Denada melepaskan novel yang sedang digenggaman suaminya. Andri hanya mengangguk pelan, menatapku nanar dari kejauhan. Aku segera menutup pintu kamar. Menguncinya rapat. Andri sudah membaca novelku.
Iya, dia memang mendapat lampu hijau dari keluarga ini, aku bahkan bisa melihatnya sebelum matahari terbit dan menatapnya ketika aku membuka pintu rumah saat matahari tenggelam. Tapi dia selalu keluar dan masuk dari kamar kak Denada, karena dia suaminya. Kini dua tahun sudah sejak permintaan dia pukul dua siang itu. Dua tahun tersiksa. Dua tahun menyesal mengapa novel itu diterbitkan.
Dia mencintai pemilik komik Pop Corn yang selalu aku bawakan, mencitai kak Denada, mantannya yang dulu menyobek buku Andri. Itulah sebabnya kak Denada mengoleksi komik-komik. Menebus dosa. Dan aku baru tahu.
Mereka tak akan pernah tahu bahwa aku menyukai Andri, kecuali sedetik tadi, setelah Andri membaca seluruh isi novelku.
Kubuka laptopku, hanya sebaris yang sanggup kutulis,
'Kalau begitu, aku dan kamu adalah kutub selatan yang tak akan pernah bisa berdampingan.'
-end
•••
Aku dan seorang pria yang memakai jaket berkupluk sama-sama berteriak. Tangan kami saling memegang komik yang kami temukan di rak paling ujung. Komik langka, berjudul POP CORN. Kalau aku melepaskan komik ini, aku tidak akan lagi menemukannya di rak manapun. Kami bersikukuh memegang komik seharga dua puluh empat ribu tersebut.
"Yang duluan liat gue!"
"Tapi aku duluan yang ambil!"
Kataku tak mau kalah. Tatapanku hanya terpaku pada komik yang sedang kuperjuangkan hak kepemilikannya, namun perlahan pandanganku berjalan kearah sepatunya, celana jeans-nya, kaus putih dan jaket biru dongker, dan tibalah saat aku melihat wajahnya yang... eh?
"Kok tiba-tiba lemes gitu tangan lo? Anyway, thanks. Komiknya mau gue bawa ke kasir."
Aku masih tercengang. Wajahnya... Melemaskan seluruh persendianku, membuat tanganku tak mampu menahan beban yang sedang kupegang. Dia membuka kupluknya, memperlibatkan rambut cepaknya yang masih basah. Aroma shampo menguar disekitar kami. Lalu dia segera bergegas menuju tempat pembayaran. Ayo Kiki berpikir! Pikir pikir pikir! Jangan sampai orang itu lepas dari jangkauan. Batinku.
"Tu.. tunggu!"
Dia menoleh. Aku tergugu. Aku mau apa? Ah, apa saja! Yang penting aku masih bisa bertemu dengannya. Peduli amat dengan komik yang sejak awal kupertahankan. Sekarang, hanya orang itu yang menjadi incaranku.
"Aku minta nomor ha-pe kamu. Supaya kalau kamu udah beli komiknya, aku bisa pinjam sebentar untuk baca. Sebentar saja. Atau kita bisa saling pinjam soalnya koleksi komikku sudah banyak dan-"
"Nih."
Dia memberikan secarik kertas yang sudah dibubuhi nomor teleponnya. Semudah itu. Inikah jodoh?
Dan dari pertemuan singkat itulah, aku mengenal namanya, Andri.
•••
Siang ini, dua bulan setelah kejadian perebutan kepemilikan, aku dan Andri duduk berhadapan di restoran macaroni panggang. Dia sudah selesai mmbaca komik Pop Corn milikku yang sengaja kubawa dari rumah.
"Lebih suka yang edisi sekarang ya, yang delux. Lebih tebal dan puas bacanya. Nggak nyangka lo koleksi komiknya juga, hahaha."
Andri tertawa. Dipukulunya kepalaku dengan komik yang ada di tangannya. Aku menghindar. Pukulannya tak kena.
"Jadi, lo kerjanya cuma pacaran sama setumpuk komik aja Ki?"
"Ih, nggaklah. Aku punya pacar kali. Komik itu cuma pengantar tidur aja. Kamu malah aneh, kok ada cowok yang suka komik ini? Ini kan salah satu komik cantik dan jadul banget. Keluaran tahun 90an dan aku rasa nggak semua orang suka. Apa ini komik kesukaan pacarmu?"
Aku cerewet sekali ya. Bukan. Sebenarnya aku tidak terlalu suka berbicara, tapi lelaki yang ada di hadapanku ini, membuatku merasa nyaman sekali.
"Gue udah putus. Lagian, komik ini hobi nya gue. Justru putus karna cewek gue ngerasa diduain sama komik."
"Terus?"
Aku menagih. Mulai tertarik. Apa tadi katanya, putus? Ahh...
"Iya, gue suka banget baca buku, baca komik, baca novel. Tapi mantan gue itu nggak suka, dia benci kalau waktu kosong gue dipakai baca, dia nggak suka kalau ngedate diajak ke toko buku.
Dia cantik, pintar, tapi lebih suka menuntut gue untuk selalu ada dan mengerti hobinya yang nggak masuk akal : nongkrong seharian di kampus. Seenggaknya, gue putus terhormat sih."
"Terhormat gimana maksudnya?"
Aku memotong. Dia meyeruput es jeruk yang gelasnya mulai mengeluarkan tetes-tetes embun karena suhu dalam gelas yang dingin.
"Waktu itu dia sobek-sobek komik gue. Dia bilang cemburu. Dia nyanya apakah gue lebih pilih dia atau pilih buku. Kalau gue pilih buku, dia mengancam putus dan mau bunuh diri. Dan gue memilih buku. Membiarkan dia pergi. Gue juga hapal gelagat dia. Nggak akan bunuh diri..."
"Hmm..."
"Jadi, di sinilah gue. Terperangkap dengan cewek yang ternyata sehobi baca komik kayak gue."
"Kita sama sih, aku juga putus dengan cara terhormat kok. Tadi aku bilang udah punya pacar, tapi dulu. Putus enam bulan lalu."
Kataku pelan. Dia menatapku. Mengendikkan bahu, membiarkan aku bercerita.
"Yah, aku sebenarnya penulis. Kamu lihat nggak novel-novel yang kutunjukkan sama kamu bulan lalu? Itu punyaku. Tapi aku nggak mau semua orang tahu."
"Bentar Ki. Nama penulisnya bukan Kiki, tapi Kabut Malam. Itu nama pena? Kok semacam alay sih! Tapi isinya bagus sih cuma yaaaa namanya ituloh..."
Andri mendengus pelan. Aku terkekeh. Masa' nama sekeren itu dibilang alay? Tak lama aku menggangguk, mengiyakan bahwa Kabut Malam itu namaku.
"Dia nggak suka kalau aku menghabiskan waktuku untuk menulis. Dia selalu malas membaca tulisanku, dan setiap kali membaca dia menjadi pencemburu paling akut. Merasa bahwa yang kutuliskan tentang seseorang. Padahal semua fiksi. Akhirnya kami putus."
"Terus, kalau obsesi untuk koleksi komik Pop Corn, ada kaitan sama mantan?"
Andri segera bertanya. Gantian aku yang menyeruput es kelapa yang sudah tinggal setengahnya.
"Nggak ada sih, itu cuma koleksi aja. Lagian aku kan bilang kalau komik buatku untuk pengantar tidur. Kan aku sudah pernah bahas bulan lalu. Jangan nanya mulu ah,"
"Oh iya, lupa lagi. Nih masukin komiknya sebelum kebawa di tas gue. Someday, pinjam lagi ya yang edisi berikutnya."
"Dateng aja deh kerumah, biar bebas bacanya."
•••
Andri. Yang sangat kebetulan, aku bisa berkenalan dengan cara yang aneh. Aku bersyukur karena otakku dapat bekerja cepat dalam bertindak. Tidak banyak perhitungan, tapi selalu mendapatkan apa yang kumau. Hari ini sepulang kuliah, aku segera menutup pintu kamar dan menyalakan laptop. Menulis untaian kalimat yang perlahan menyusun menjadi paragraf demi paragraf. Aku banyak sekali ide akhir-akhir ini. Dan banyak inspirasi yang kudapat selama jalan dengan Andri. Malah. Beberapa puisi yang kutulis bulan lalu, membahas tentang Andri.
Seperti magnet,
Saling menarik dan mendekat
Kalau begitu,
pastilah aku kutub utara
Dan kau kutub selatan
Dua kutub yang berbeda kemudian terpikat
Berdampingan untuk sementara waktu
Selama tidak ada yang memisahkan
Dua kutub akan selalu bersama,
Mendekat, melekat, begitu memikat.
Andri baik. Bisa dikatakan baik karena dia sudi mengantarku pulang walaupun rumah kami berjalan ke arah berlainan. Ramah pada ayah, sopan pada ibu, suka membawakan buah, sesekali membawa hadiah untuk adik bungsuku. Hanya saja terlihat dingin dan terututup ketika bertemu kak Denada. Mereka tidak dekat. Biasanya Andri pamit pulang sebelum kak Denada kembali dari kampus. Tak apa. Toh, setidaknya, aku bisa melihat adanya lampu hijau untuk Andri di keluarga ini.
"Ki, komik baru nih. Edisi delux juga. Sampulin dulu sebelum dibaca ya!"
Kak Denada setengah berteriak dari luar kamar. Dia tahu, kamarku pasti terkunci. Aku tak menanggapi, terus mengetik tiap diksi yang ada dalam otak.
•••
"Eh, Kabut Malam! Boleh minta sesuatu nggak?"
Andri menegurku. Aku yang sedang menatap layar laptop beralih melihat wajahnya.
"Jangan sebut nama itu! Kan nggak ada yang tahu. Mau minta tolong apaan sih?"
Dia di rumahku, sejak pukul sebelas. Dan sampai pukul dua siang ini, ibu serta ayah belum juga pulang dari rumah tante Rahma. Adik main dan kak Denada tentu saja kuliah. Aku, libur. Lalu memanfaatkan keadaan ini untuk lebih lama bersama Andri. Ah, aku sama sekali tidak keberatan jika dia seharian di rumah sambil melahap bacaan komik yang ada dalam jajaran rak buku di rumahku. Aku tidak seperti mantannya yang mencemburui buku-buku. Karena aku tahu, membaca itu sangat mengasyikan.
"Iya sorry. Mau.. uhm.. sometimes, lo tulis cerita tentang gue dong. Kalau dipajang di toko buku gue bakal nyuruh teman teman baca tapi tetap ngerahasian penulisnya kok!"
Aku tersenyum. Tak mengiyakan, tidak juga menggeleng. Dia tidak tahu, yang sedang kutuliskan setiap paragraf adalah tentag dia, tentang kami, tentang pertemuan bodoh, tentang harapanku.
•••
"Tuhan memang sutradara terhebat. Pembuat sekenario handal, dan pencipta paling pengertian. Pada setiap insan yang terlahir, Tuhan tetapkan pasangan yang tercipta dari rusuk yang sama dan akan menjadi jodoh paling baik walaupun sempat terpisah. Bisa jadi terpisah dan akan bertemu tanpa harus dicari. Saling bertemu di toko buku, memperebutkan komik, saling bersitatap, kemudian merasa bahwa inilah jodoh. Saling melengkapi, saling membantu, dan segalanya menjadi berkaitan. Tuhan memang sudah tahu, bahwa pada pertemuan itu, bisa saja ada pihak lain yang kelak menjadi pasangan hidup. Lalu pada waktu yang sudah ditentukan, mereka akhirnya bersama, tanpa ada yang menghalangi, tanpa ada dinding pemisah, berdua, seperti magnet, hidup bahagia sejak pernikahan digelar. Semua bahagia, semua tersenyum, kecuali satu. Karena untuk mengabadikan kebahagiaan, butuh satu atau beberapa pihak yang harus menderita. Dan yang satu itu, adalah aku. Karena menurut sekenario Tuhan, aku hanya menjadi jembatan antara kamu dan jodohmu itu. Tamat."
Andri menutup novel yang baru saja ia baca. Terhenyak. Ia sedikit menelan ludah. Mencoba mencerna paragraf terakhir novel tersebut.
"Ka-but Ma-lam. Namanya unik. Aku suka. Ceritanya juga bagus, aku tersentuh. Sayang banget sad ending. Mau kubuatkan kopi, sayang?"
Kak Denada muncul dari belakang tempat Andri duduk di ruang tengah. Ia melingkarkan lengannya ke leher Andri. Jemari lentik Denada melepaskan novel yang sedang digenggaman suaminya. Andri hanya mengangguk pelan, menatapku nanar dari kejauhan. Aku segera menutup pintu kamar. Menguncinya rapat. Andri sudah membaca novelku.
Iya, dia memang mendapat lampu hijau dari keluarga ini, aku bahkan bisa melihatnya sebelum matahari terbit dan menatapnya ketika aku membuka pintu rumah saat matahari tenggelam. Tapi dia selalu keluar dan masuk dari kamar kak Denada, karena dia suaminya. Kini dua tahun sudah sejak permintaan dia pukul dua siang itu. Dua tahun tersiksa. Dua tahun menyesal mengapa novel itu diterbitkan.
Dia mencintai pemilik komik Pop Corn yang selalu aku bawakan, mencitai kak Denada, mantannya yang dulu menyobek buku Andri. Itulah sebabnya kak Denada mengoleksi komik-komik. Menebus dosa. Dan aku baru tahu.
Mereka tak akan pernah tahu bahwa aku menyukai Andri, kecuali sedetik tadi, setelah Andri membaca seluruh isi novelku.
Kubuka laptopku, hanya sebaris yang sanggup kutulis,
'Kalau begitu, aku dan kamu adalah kutub selatan yang tak akan pernah bisa berdampingan.'
-end
•••
bagus banget mbak cerpennya. ringan bahasanya. dan endingnya ituloh, sedih banget.
BalasHapussalam kenal
kalau berkenan, main ke blog ku juga ya
dua insan yang tak bisa bersatu :")
BalasHapusaduh ternyata endingnya gitu haha. bagus! keep up the good work!
BalasHapusKeren banget ceritanya. Endingnya nggak ketebak. Bahasanya juga asik :D
BalasHapus