1/ Mencoba menyenangkan kamu.
Aku baru pulang setelah membantu tetangga mencuci baju dan mengepel rumah. Setiap hari kerjaanku hanya menjadi pembantu rumah tangga yang penghasilannya dibawah rata-rata. Tapi selama aku dan adikku bisa makan, aku tak masalah. Minggu depan Kaniya berulang tahun. Aku sibuk menyisihkan uang untuk berjaga-jaga, siapa tahu dia meminta kado yang harganya melampaui kemampuanku. Tahun lalu dia minta sebuah boneka beruang seharga lima puluh ribu dan karena itu kami rela tidak makan seminggu.
"Kak Desti, kok ngelamun?"
Kaniya datang menghampiriku. Aku membiarkan Kaniya melihat uang receh yang masih berceceran di atas lantai kamar. Kaniya, yang sejak kecil tinggal bersamaku kini sudah tumbuh besar. Besok genap depalan tahun usianya. Dia selalu merengek meminta sekolah tapi aku tak bisa membiayainya. Rambut kusamnya sudah tumbuh sampai sebahu. Wajah
cantiknya tertutup oleh debu yang menempel di beberapa titik. Aku menurunkan pandanganku, menatap bajunya yang kumal, membuat badannya gatal-gatal dan meninggalkan bekas ketika digaruk. Setelah itu timbul kemerahan di beberapa lengan dan kakinya.
"Sini dek. Mau dikasih hadiah apa untuk minggu depan? Boneka atau baju... mau?"
Selalu begini. Kami hanya tinggal berdua dan aku mengajarkan padanya untuk selalu berdiskusi dalam segala hal. Dia mengerutkan dahinya, berpikir sesaat.
"Aku mau... Boleh apa saja kan kak?"
"Iya. Mau apa? Tapi kalau uangnya kurang, belinya nggak bisa tepat waktu."
Kaniya mengangguk tanda setuju lalu dia membisikkan sesuatu ke telingaku.
"Aku mau dibelikan ayam jago yang dagingnya banyak dan segar. Nanti dia bisa kukuruyuk bangunkan aku solat subuh. Dan pas lebaran haji, dia bisa kita potong untuk dimakan. Kaniya lupa rasa ayam goreng kayak
gimana kak,"
Aku tersenyum simpul dan mengiyakan keinginannya. Benar, sepertinya sudah puluhan tahun yang lalu kami makan ayam. Aku juga lupa seperti apa rasa dagingnya. Yang aku ingat hanya aroma sedapnya yang jika dicium membuat perutku mengamuk. Aku dan Kaniya hanya bisa mencium aroma ayam goreng setiap tetangga memasaknya.
"Boleh. Kalau gitu, ayo kita beli sekarang,"
"Sekarang kak?!"
"Iya sekarang. Uangnya insya Allah cukup. Jadi kita bisa ngerawat dia sebelum dipotong."
Kumasukan uang ke dalam kantong kresek dan memegangnya erat-erat.
Kami keluar rumah dan Kaniya berlari kecil sambil berteriak ingin membeli ayam. Membuat para tetangga tahu apa yang akan kami lakukan.
Aku hanya bisa tersenyum ramah dan mengiyakan tetangga yang bertanya.
2/ Aku senang melihatmu tersenyum.
"Ini si jago?"
Kaniya menatap potongan daging ayam yang tersedia dihadapannya. Aroma daging ayam yang dibumbui menyeruak ke seluruh rumah kami yang berukuran kecil. Potongan dagingnya menguning kecoklatan, renyah di beberapa bagian, dan sedikit menghitam di sekitar tulang paha. Aku membawa nasi yang masih tanak dan menaruhnya dihadapan Kaniya.
"Iya, banyak kan dagingnya. Yuk makan."
Aku menjawab pertanyaan Kaniya. Dia masih takjub melihat banyak potongan daging ayam yang bisa dimakan sepuasnya. Sayup-sayup terdengar suara takbiran di surau. Semalam saat Kaniya tertidur aku
menyiangi si Jago. Jadi sepagi ini aku tinggal memanaskannya lagi dan aku senang melihat ekspresi Kaniya saat ini.
"Tapi kan aku udah bilang kak, kalau si Jago mau dipotong aku harus lihat! Aku mau ikut masak juga terus kenapa ayam goreng, kan janjinya mau masak opor, terus..."
"Yaudah intinya sekarang mau kamu makan atau nggak nih? Kalau enggak ya biar aku aja yang makan,"
Aku menuangkan dua centog nasi ke piring Kaniya, lalu satu centong untukku. Dengan cepat tangan Kaniya menguasai piring potongan ayam.
"Aku mau! Makasih ya kak Desti, Alhamdulillah lebaran tahun ini bisa makan ayam,"
Aku tersenyum tapi air mataku perlahan jatuh dan dadaku terasa sesak.
Dadaku semakin sakit melihat Kaniya yang begitu semangat mengunyah paha ayam dan dengan cepat mengambil ptongan daging berikutnya.
"Kenapa kak? Kok nangis?"
Kaniya menatapku. Ia memperlambat kunyahannya. Aku cepat-cepat menghapus air mataku dan menyunggingkan senyuman.
"Nggak apa-apa kok. Cuma terharu aja. Ayo dilanjutin makannya. Maaf Kaniya... Si Jago harus kita makan, harusnya dia..."
"Harusnya dia diapain kak?"
"Nggak jadi. Habisin ayam gorengnya."
Kataku singkat, kemudian ikut menguyah ayam goreng buatanku. Lezat, gurih, seperti rasa ayam lainnya. Ah ya, aku dan Kaniya tak tahu rasa ayam seperti apa selain hari ini, saat kami memakan si Jago.
3/ Hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan.
Malam ini ramai oleh suara petasan yang meledak di udara dan takbiran keliling di kampung. Takbiran keliling itu terdengar sahut-menyahut dengan pengeras yang ada di surau. Kaniya sedang asik bermain di luar, melihat percikan api yang berwarna-warni. Kami tidak sanggup membeli petasan, hanya menjadi penonton setia yang melihat puluhan
petasan menghiasi langit malam yang entah dilemparkan oleh siapa. Hanya melihat dari kejauhan.
Aku bergegas ke belakang rumah, membawa makanan untuk si Jago dan aku terhenyak saat membuka kandangnya. Ia terbujur kaku. Ceker kakinya meregang, matanya berwarna kehijauan setengah tertutup dan berlendir, sayapnya mengatup rapat.
Dia mati.
Padahal dia dibeli dengan harga mahal dan besok lebaran. Padahal kami menginginkan makan ayam opor dan sudah merawat si Jago dengan baik. Padahal...
Aku berpikir cepat. Mengeluarkan si Jago dari kandang dan membawanya ke dapur. Aku teringat kata pak ustad kalau bangkai hukumnya haram dimakan. Tapi aku tak mau mengecewakan Kaniya. Kami sudah lama
menginginkan daging ayam masuk ke perut kami. Tanpa banyak pikir aku segera mencabuti bulu si Jago, memotong dagingnya menjadi beberapa bagian dan mencuci darahnya yang merah kehitaman. Kusiapkan kunyit dan lengkuas agar dagingnya yang pucat kebiruan tidak terlalu kelihatan.
Maaf Kaniya, si Jago akhirnya kita makan. Mestinya dia kita kubur.
Aku baru pulang setelah membantu tetangga mencuci baju dan mengepel rumah. Setiap hari kerjaanku hanya menjadi pembantu rumah tangga yang penghasilannya dibawah rata-rata. Tapi selama aku dan adikku bisa makan, aku tak masalah. Minggu depan Kaniya berulang tahun. Aku sibuk menyisihkan uang untuk berjaga-jaga, siapa tahu dia meminta kado yang harganya melampaui kemampuanku. Tahun lalu dia minta sebuah boneka beruang seharga lima puluh ribu dan karena itu kami rela tidak makan seminggu.
"Kak Desti, kok ngelamun?"
Kaniya datang menghampiriku. Aku membiarkan Kaniya melihat uang receh yang masih berceceran di atas lantai kamar. Kaniya, yang sejak kecil tinggal bersamaku kini sudah tumbuh besar. Besok genap depalan tahun usianya. Dia selalu merengek meminta sekolah tapi aku tak bisa membiayainya. Rambut kusamnya sudah tumbuh sampai sebahu. Wajah
cantiknya tertutup oleh debu yang menempel di beberapa titik. Aku menurunkan pandanganku, menatap bajunya yang kumal, membuat badannya gatal-gatal dan meninggalkan bekas ketika digaruk. Setelah itu timbul kemerahan di beberapa lengan dan kakinya.
"Sini dek. Mau dikasih hadiah apa untuk minggu depan? Boneka atau baju... mau?"
Selalu begini. Kami hanya tinggal berdua dan aku mengajarkan padanya untuk selalu berdiskusi dalam segala hal. Dia mengerutkan dahinya, berpikir sesaat.
"Aku mau... Boleh apa saja kan kak?"
"Iya. Mau apa? Tapi kalau uangnya kurang, belinya nggak bisa tepat waktu."
Kaniya mengangguk tanda setuju lalu dia membisikkan sesuatu ke telingaku.
"Aku mau dibelikan ayam jago yang dagingnya banyak dan segar. Nanti dia bisa kukuruyuk bangunkan aku solat subuh. Dan pas lebaran haji, dia bisa kita potong untuk dimakan. Kaniya lupa rasa ayam goreng kayak
gimana kak,"
Aku tersenyum simpul dan mengiyakan keinginannya. Benar, sepertinya sudah puluhan tahun yang lalu kami makan ayam. Aku juga lupa seperti apa rasa dagingnya. Yang aku ingat hanya aroma sedapnya yang jika dicium membuat perutku mengamuk. Aku dan Kaniya hanya bisa mencium aroma ayam goreng setiap tetangga memasaknya.
"Boleh. Kalau gitu, ayo kita beli sekarang,"
"Sekarang kak?!"
"Iya sekarang. Uangnya insya Allah cukup. Jadi kita bisa ngerawat dia sebelum dipotong."
Kumasukan uang ke dalam kantong kresek dan memegangnya erat-erat.
Kami keluar rumah dan Kaniya berlari kecil sambil berteriak ingin membeli ayam. Membuat para tetangga tahu apa yang akan kami lakukan.
Aku hanya bisa tersenyum ramah dan mengiyakan tetangga yang bertanya.
2/ Aku senang melihatmu tersenyum.
"Ini si jago?"
Kaniya menatap potongan daging ayam yang tersedia dihadapannya. Aroma daging ayam yang dibumbui menyeruak ke seluruh rumah kami yang berukuran kecil. Potongan dagingnya menguning kecoklatan, renyah di beberapa bagian, dan sedikit menghitam di sekitar tulang paha. Aku membawa nasi yang masih tanak dan menaruhnya dihadapan Kaniya.
"Iya, banyak kan dagingnya. Yuk makan."
Aku menjawab pertanyaan Kaniya. Dia masih takjub melihat banyak potongan daging ayam yang bisa dimakan sepuasnya. Sayup-sayup terdengar suara takbiran di surau. Semalam saat Kaniya tertidur aku
menyiangi si Jago. Jadi sepagi ini aku tinggal memanaskannya lagi dan aku senang melihat ekspresi Kaniya saat ini.
"Tapi kan aku udah bilang kak, kalau si Jago mau dipotong aku harus lihat! Aku mau ikut masak juga terus kenapa ayam goreng, kan janjinya mau masak opor, terus..."
"Yaudah intinya sekarang mau kamu makan atau nggak nih? Kalau enggak ya biar aku aja yang makan,"
Aku menuangkan dua centog nasi ke piring Kaniya, lalu satu centong untukku. Dengan cepat tangan Kaniya menguasai piring potongan ayam.
"Aku mau! Makasih ya kak Desti, Alhamdulillah lebaran tahun ini bisa makan ayam,"
Aku tersenyum tapi air mataku perlahan jatuh dan dadaku terasa sesak.
Dadaku semakin sakit melihat Kaniya yang begitu semangat mengunyah paha ayam dan dengan cepat mengambil ptongan daging berikutnya.
"Kenapa kak? Kok nangis?"
Kaniya menatapku. Ia memperlambat kunyahannya. Aku cepat-cepat menghapus air mataku dan menyunggingkan senyuman.
"Nggak apa-apa kok. Cuma terharu aja. Ayo dilanjutin makannya. Maaf Kaniya... Si Jago harus kita makan, harusnya dia..."
"Harusnya dia diapain kak?"
"Nggak jadi. Habisin ayam gorengnya."
Kataku singkat, kemudian ikut menguyah ayam goreng buatanku. Lezat, gurih, seperti rasa ayam lainnya. Ah ya, aku dan Kaniya tak tahu rasa ayam seperti apa selain hari ini, saat kami memakan si Jago.
3/ Hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan.
Malam ini ramai oleh suara petasan yang meledak di udara dan takbiran keliling di kampung. Takbiran keliling itu terdengar sahut-menyahut dengan pengeras yang ada di surau. Kaniya sedang asik bermain di luar, melihat percikan api yang berwarna-warni. Kami tidak sanggup membeli petasan, hanya menjadi penonton setia yang melihat puluhan
petasan menghiasi langit malam yang entah dilemparkan oleh siapa. Hanya melihat dari kejauhan.
Aku bergegas ke belakang rumah, membawa makanan untuk si Jago dan aku terhenyak saat membuka kandangnya. Ia terbujur kaku. Ceker kakinya meregang, matanya berwarna kehijauan setengah tertutup dan berlendir, sayapnya mengatup rapat.
Dia mati.
Padahal dia dibeli dengan harga mahal dan besok lebaran. Padahal kami menginginkan makan ayam opor dan sudah merawat si Jago dengan baik. Padahal...
Aku berpikir cepat. Mengeluarkan si Jago dari kandang dan membawanya ke dapur. Aku teringat kata pak ustad kalau bangkai hukumnya haram dimakan. Tapi aku tak mau mengecewakan Kaniya. Kami sudah lama
menginginkan daging ayam masuk ke perut kami. Tanpa banyak pikir aku segera mencabuti bulu si Jago, memotong dagingnya menjadi beberapa bagian dan mencuci darahnya yang merah kehitaman. Kusiapkan kunyit dan lengkuas agar dagingnya yang pucat kebiruan tidak terlalu kelihatan.
Maaf Kaniya, si Jago akhirnya kita makan. Mestinya dia kita kubur.
keren mbak ceritanya. ajarin dong buat cerpen twist gini. :(
BalasHapuskunjung balik ya mbak
Aduh belum bisa ngajarin aku masih basik nih. Oke segera ke blog mu.
Hapusoke nih ceritanya, pengalaman pribadi yah
BalasHapusFiksi :D
HapusTerharuuu... Kehidupan sempit sekali :(((
BalasHapusSemoga nggak ada kejadian kayak gini, sih ya.
Hapusya Allah...... *jedotin kepala.ke tembok*
BalasHapusSemoga Tuhan mengampuni keterpaksaan ini!
Dalam hukum agama, gimana nih? Hahaha.
Hapus