cermin tak pernah berteriak;
ia pun tak pernah meraung, tersedan, atau terisak,
meski apa pun jadi terbalik di dalamnya
barangkali ia hanya bisa bertanya:
mengapa kau seperti kehabisan suara?
(Sapardi Djoko Damono 1980)
•••
Gaby pulang dengan terisak. Matanya bengkak, menangis sepanjang perjalanan pulang sekolah. Benci. Ia segera menghambur ke pelukan bunda sesampainya di rumah. Di serahkannya nilai pe-er matematika yang sudah kusut. Bunda menerimanya dan melihat angka merah yang dituliskan di kertas tersebut. Dua koma delapan, nilai yang sangat buruk bagi Gaby.
"Yasudah, kan cuma nilai. Kenapa sampai menangis begini? Ayo masuk dulu, bunda buatin teh hangat ya,"
Tapi Gaby bergeming. Ia masih saja sesenggukan seraya melepas sepatu dan kaus kaki, membuka topi dan dasi merah yang ia kenakan sebelumnya. Rok merahnya penuh noda air mata.
"Bunda enggak marah kok, kalau nilainya jelek, tandanya kamu masih harus belajar lagi,"
Bunda berusaha untuk menghibur anak bungsunya. Gaby adalah anak cerdas dan semua orang tahu akan hal itu, hanya saja sedikit yang mau mengakuinya.
"Bukan gitu bun... Aku harusnya dapat nilai seratus,"
Gaby kembali mengalirkan air matanya. Usianya baru tujuh tahun. Hatinya masih terlalu lunak untuk mendengar kata-kata kasar. Pagi tadi ia dimarahi guru matematikanya di depan kelas. Gurunya berpikir ia sudah berbohong.
"Kalau harusnya dapat seratus, terus kenapa ditulis dua koma delapan, sayang?"
Bunda kembali membuka kertas ulangan Gaby. Dilihatnya deretan angka bilangan di dalam soal tersebut. Benar, harusnya dapat seratus karena jawaban Gaby tidak ada yang salah satu pun.
"Tadi... Kata bu Wira, itu bukan kerjaan Gaby bun, katanya Gaby pasti di bantu sama kakak atau sama bunda. Soalnya jawaban Gaby benar semua dan tulisan aku terlalu bagus. Aku di bentak-bentak bun, katanya aku berbohong, padahal itu kan Gaby sendiri ya bun, yang ngerjain. Terus dikasih nilai dua katanya ibu Wira kasihan kalau aku dikasih nol,"
Bunda hanya tersenyum. Anaknya memang terlalu pandai, sampai gurunya saja tidak memercayainya. Gaby memang sudah bisa baca tulis sejak usianya masih lima tahun. Tulisan sambungnya bisa bagus karena bapak selalu melatihnya. Dipeluknya Gaby dan bunda mengusap air mata anaknya.
"Biarin aja nilai kamu jelek, atau guru kamu nggak percaya. Tapi kamu ingat ya sayang, kapan pun dan di mana pun, kejujuran itu harus kamu pertahankan. Sekalipun semua orang mengira kamu berbohong,"
•••
"Apa anak saya melakukan kesalahan lagi bu?"
Bunda harap-harap cemas mengatakannya. Siang ini, seminggu setelah hari kemerdekaan, Bunda (lagi-lagi) di panggil ke ruangan wali kelas. Tangannya meremas pelan punggung tangan Gaby, berharap anaknya tidak melakukan kenakalan yang dapat membuatnya malu. Usia Gaby masih belia, ia masih duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. Bunda tahu, anaknya ini ditakuti semua guru di sekolah karena kecerdasannya. Beberapa tahun lalu, guru matematikanya tak pernah percaya dengan hasil jawaban Gaby yang selalu benar, sementara murid lain hanya sedikit yang bisa menjawab. Begitu juga dengan pelajaran kertakes, agama, bahasa, penjaskes, dan entah hari ini pelajaran apa.
"Saya tidak mengerti bu, Gaby berbohong terus di kelas. Membuat ia dijauhi teman-temannya dan pagi ini, ia telah menyakiti hati seorang guru dengan perkataannya yang selalu saja membual.
Gaby membantah bahwa ada pekerjaan yang lebih seram selain menjadi TKI, padahal semua tahu tak ada yang lebih parah selain menjadi TKI,"
Wali kelas Gaby mendesah, rambut sebahu dengan ptongan bob membuat wajahnya terlihat lebih bulat.
"Memang apa yang kamu katakan nak?"
Kali ini bunda menatap Gaby. Gaby yakin bunda akan lebih percaya padanya. Ia sungguh tidak pernah berbohong. Kapan pun, di mana pun, kepada siapa pun, kejujuran harus dipertahankan.
"Benar kan bun, yang lebih parah selain TKI itu kerja Romusha dan kerja Rodi,"
jawab Gaby pelan, tanpa perlawanan. Wali kelasnya segera menatap bunda seolah berkata -apa-kubilang-anakmu-berbohong-kan. Bunda hanya tersenyum mendengar jawaban anaknya.
"Bukankah memang jawaban Gaby benar, bu?"
"Benar bagaimana? Romusha dan Rodi itu jenis permainan apa?! Gaby terlalu banyak berimajinasi. Dia harus banyak belajar tentang kenyataan,"
Dahi Gaby berkerut. Guru macam apa yang tidak tahu dua pekerjaan itu. Kemerdekaan dirayakan setiap tahun bukan berarti sejarah harus dilupakan. Gaby hendak membuka mulut tapi bunda menahannya.
"Maafkan anak saya, bu. Dia masih perlu banyak belajar,"
Gaby mendengus kesal. Bapak Soekarno pasti ikut marah di alam kubur sana kalau tahu guru-guru di sekolah melupakan sejarah.
"Ah ya, satu lagi. Kemarin Gaby menjadi pengibar bendera upacara saat merayakan HUT-RI, dan dia hanya mengibarkan setengah tiang. Anak ibu berteriak lantang sambil hormat di hadapan teman-temannya, mengatakan hal yang membuat saya sebagai wali kelasnya malu,"
Gaby melihat bunda yang melongok keluar jendela, menatap bendera yang masih setengah tiang. Gaby yakin ia tidak salah. Bapak dan bunda selalu mengajarkan hal-hal baik untuknya. Bunda mengalihkan pandangannya dari tiang bendera, lalu melihat Gaby, meminta penjelasan.
"Aku cuma bilang, bendera setegah tiang untuk mengingat negara yang lama, bun. Mengingat sakit dan pengorbanan para patriot zaman dahulu. Bendera setengah tiang juga untuk mengenang jasa pencipta lagu kebangsaan 'Indonesia Raya' WR Soepratman dan pencetus ilmu bahasa indonesia, Herman Neubronner van der Tuuk yang meninggal dunia pada tanggal 17 Agustus,"
Bunda tersenyum mendengar jawabannya, mengulum bibirnya seolah menahan tawa dan menatap wali kelas seakan berkata bagaimana-mungkin-ibu-tidak-mengetahui-sejarah-kemerdekaan.
Setelah berpamitan, mereka keluar melenggang dari sekolah. Bunda tahu anaknya jujur. Keluarga mereka tak pernah mengindahkan kebohongan. Apalagi setelah mendegar alasannya, bunda semakin tahu bahwa Gaby selalu jujur.
Kali ini Gaby tidak menangis, ia merasa aman ada bunda dismpingnya.
•••
BRAK! Sebuah penggaris panjang dihentakkan ke papan tulis. Semua siswa di kelas terdiam, takut. Gaby gemetar. Malu. Takut. Benci. Air matanya mulai jatuh perlahan. Seluruh orang yang ada di hadapannya hanya menatap kosong.
"Ini! Ini contoh anak yang tidak belajar semalam! Masa mengerjakan soal semudah ini saja, kamu tidak bisa!"
Pak Dodi membentak. Dipukulnya lagi penggaris kayu ke papan tulis. Gaby benci pak Dodi. Ia dipermalukan di depan kelas, dan ia sangat malu dihadapan seseorang di bangku ujung yang sejak tadi memperhatikan Gaby. Sungguh tak punya muka menangis di depan orang yang ia sukai.
"Ta... Tapi... Tapi pak, saya sudah belajar. Saya belajar semalaman hanya untuk ujian fisika ini. Saya..."
"Alaaaah. Bohong! Sudah, sana kamu duduk lagi. Pasti perempuan macam kamu kerjaannya hanya menonton dan mengikir kuku di rumah!"
Beberapa teman Gaby terkekeh, seakan setuju dengan pak Dodi. Ia benci. Gaby mengutuk Tuhan dalam hati. Ia meremas rok abu-abunya dan kembali ke tempat duduk. Mengapa sejak kecil hingga sekarang ia selalu saja di anggap berbohong? Padahal tadi malam ia mati-matian belajar fisika sampai rela tidak ikut jalan-jalan bersama keluarganya. Padahal bunda sudah mengingatkan untuk tidak begadang demi ujian fisika ini. Kenapa pula ia harus gemetar saat maju di depan kelas, membuat ia gugup dan lupa menulis jawaban untuk soal yang tertera di papan tulis. Benci. Dan sakit hati. Ia lelah di permainkan di sekolahnya. Teman-temannya hanya mendekati untuk mengerjakan tugas, tapi Gaby tak pernah mendapat nilai bagus. Dan pak Dodi, adalah guru yang secara terang-terangan berani membentak dan mengomel pada Gaby, selalu menggangap Gaby berbohong.
Gaby lelah berkata jujur. Apa pula arti kejujuran di tengah orang-orang yang tak pernah menganggap kejujuran? Tiba-tiba pikirannya terpusat pada satu hal. Otakknya berpikir keras, menyusun rencana buruk untuk pak Dodi. Rasa sakit hatinya membuat ia berpikir liar. Ia tahu, jika dilakukan, harga dirinya sebagai seorang manusia bisa jadi akan hilang. Biar saja. Ia lelah di anggap berbohong. Pak Dodi harus menerima balasan yang setimpal.
•••
"Jujur sama bunda nak,"
Gaby hanya terdiam. Matanya kosong menatap cermin yang digenggamnya. Air matanya mengalir hangat, tanpa isak atau raungan. Ia berteriak, memaki, mengeluarkan seluruh amarahnya dalam hati, tapi pantulan wajahnya di cermin hanya menggambarkan wajah sendu yang tak henti mengeluarkan air mata. Bukan kemauan Gaby menjadi anak cantik, cerdas, dan berbakat seperti ini. Ia ditakdirkan untuk lahir, dan mengapa semua orang di sekelilingnya membeci dirinya?
"Nak... Ju... jur... sa... ma... bun... da..."
Kali ini bunda terbata-bata. Air matanya ikut mengalir. Sebulan lalu sejak tewasnya pak Dodi di sekolah, Gaby menjadi anak yang pendiam dan mengalami depresi akut.
Pak Dodi ditemukan tewas di ruang kantornya dalam keadaan wajah telungkup di atas meja. Tangan kanannya memegang gelas plastik yang airnya sudah tumpah ke lantai. Mulutnya mengeluarkan busa, area mata membiru, dan tangan kirinya berada di atas meja, sedang meremas kertas ulangan fisika yang sedang di koreksinya. Kertas ulangan Gaby berada di tempat teratas. Lecak karena remasan tangan pak Dodi yang seolah menahan sakit. Kematian pak Dodi murni dianggap kecelakaan over dosis obat-obatan karena tak ada tanda-tanda maupun bukti kuat untuk mengatakan bahwa kematiannya karena pembunuhan. Satu-satunya keanehan adalah di temukannya jejak kaki yang diketahui milik Gaby. Kasus ditutup, sekolah diliburkan seminggu. Tapi bunda tahu, bunda selalu tahu apa yang tidak kasat mata bagi orang lain. Ia tahu kecerdasan Gaby yang rapi dalam menyusun rencana kematian itu. Bunda selalu tahu, karena bunda yang melahirkan Gaby.
"Bunda selalu tahu aku, terus untuk apa bertanya? Bukan aku yang membunuhnya bun,"
Gaby menjawab gamang. Suasana rumah sakit terlihat lenggang. Hanya beberapa perawat berbaju putih yang lalu-lalang menemani pasien berjalan-jalan di sekitar taman rumah sakit. Gaby, dan semua pasien di sini, tidak sakit secara fisik. Sejak kematian pak Dodi pula, wali kelas Gaby menyarankan agar Gaby menjalani rehabilitasi di rumah sakit jiwa untuk sementara waktu. Karena, meskipun kasus ditutup, semua orang masih mengira bahwa Gaby adalah penyebab kematian beliau, karena pak Dodi meremas kertas ulangan Gaby sebelum menjemput ajal, dan jejak sepatu Gaby adalah kunci dari pembunuhan tersebut. Tapi polisi menolak alasan tersebut, Gaby bebas.
"Kamu tahu nak, kejujuran itu mahal harganya. Sekali kamu berbohong, kamu tidak bisa tebus kesalahanmu hanya dengan meminta maaf. Bunda selalu bilang kan, kejujuran itu memang pahit. Tapi pahit yang halal jauh lebih baik daripada manis yang haram. Kamu tahu itu sayang, bapak yang selalu ajarkan itu sama kamu,"
"Bukan aku yang membunuh pak Dodi bun, bahkan sekarang bunda mau bilang kalau aku berbohong kan,"
"Gaby... Bunda tahu betul tentang kamu. Tolong nak, sekali ini jujur sama bunda,"
Memang, kali ini omongan Gaby terasa janggal bagi bunda. Bunda yakin sekali anaknya telah melakukan sesuatu. Atau... bisa jadi memang Gaby berkata jujur?
"Nak, kamu tidak lupa kan. Kejujuran di masa ini adalah suatu hal yang sangat langka sekali. Coba kamu lihat cermin yang ada di tanganmu sayang. Cermin selalu mengatakan kejujuran. Bercermin juga menjadi sarana untuk mengontrol diri. Suatu keanehan kalau cermin tidak lagi memunculkan refleksi dari sesuatu yang ada di depannya. Begitu pun dengan hukum timbal balik, sayang. Jika ingin orang lain jujur kepada kita, kita juga harus bersikap jujur kepada mereka. Itulah pantulan kehidupan tidak pernah berganti. Kamu harus tetap berkata jujur sayang, kapan pun di mana pun dengan siapa pun. Bunda nggak akan marah,"
Gaby menatap wajah sendunya di depan cermin, lalu menatap wajah bunda yang amat disayanginya. Bunda yang sekarang juga meragukan kejujurannya. Memang, Gaby pernah berniat untuk melakukan hal buruk pada pak Dodi, tapi bukan membunuhnya. Gaby hanya berniat untuk mempermalukan pak Dodi di depan teman-temannya.
Hari itu, Gaby masuk ke ruangan pak Dodi untuk menaruh beberapa kecoa ke dalam tas pak Dodi. Gaby tahu, pak Dodi benci hewan itu. Tak disangka, saat masuk ke ruangan kantor, pandangan pertama Gaby adalah mata pak Dodi yang menahan kesakitan, meminta tolong. Gaby menyaksikan pak Dodi meremas kertas ulangannya, berharap Gaby mencari bantuan. Tapi Gaby hanya mematung. Takut. Ia langsung lari pulang kerumah. Hari itulah beliau menjemput ajal. Tapi bukan Gaby yang melakukannya. Dengan air mata yang masih mengalir, Gaby menatap bundanya, bunda yang selalu ada untuknya, yang tak pernah meragukan kejujurannya.
"Bukan aku yang membunuhnya bun,"
Bunda menggeleng lemah, lelah merayu anaknya untuk berkata jujur. Bunda beranjak meninggalkan Gaby. Kekecewaannya terhadap anak bungsunya tak dapat ditutupi.
Bahkan, sampai detik ini Gaby masih berkata jujur.
•••
bagus,,,
BalasHapussilahkan jalan2 ke blog aq juga y,
anakrajo46.blogspot.com
thanks
pak doni itu tewas karena kecoa? atau gimana?
BalasHapussalam kenal dari saya