Tanah merah yang kupijak masih basah oleh hujan semalam. Semoga air hujannya tidak masuk ke dalam liang lahat Sisil yang bisa membuatnya menggigil. Aku berdiri setelah menaburkan beberapa bunga kertas, daun pandan, dan kelopak mawar yang telah bercampur. Suasana pemakaman di hari minggu ini terasa begitu sepi, sama sepinya dengan kehidupanku yang baru saja di tinggal pergi oleh Sisil, istri tercintaku. Sudah sebulan ia terpaksa tidur di dalam tanah, membiarkanku tidur di rumah sendirian tanpa ada yang menyelimuti seperti malam-malam sebelumnya.
Aku menatap batu nisannya, beberapa tetes embun pagi menetes di antara deretan namanya, seperti sebuah air mata. Aku menunduk, tak sanggup lagi melihatnya. Sudah dua jam aku di sini dan aku segera melangkah pergi. Kukeluarkan sebatang rokok mild dan menyalakannya dengan pemantik api kesayanganku. Asapnya mengepul, berbaur dengan kabut yang masih berkemul di area pemakaman. Kakiku segera menuju parkiran mobil, pulang. Aku tak mau anak-anak tahu aku habis mengunjungi Sisil.
Anak-anak? Bagaimana aku menghadapi mereka setelah kematian Sisil? Semua hal tentang mereka selama ini hanyalah Sisil yang mengurusnya tanpa aku ikut andil terlalu jauh. Aku begitu lama alpa mengikuti perkembangan mereka dan terlalu berkutat dalam pekerjaan yang tak menyisakan waktu apa-apa untuk mereka.
Kukeluarkan lagi sebatang rokok namun tak segera kubakar. Kupandangi bungkus rokok mild berwarna putih merah itu. Teringat kembali ucapan Sisil ketika aku terus-terusan bersama benda sialan itu karena penat dengan masalah pekerjaan. Aku dulu tak menghiraukan ucapan Sisil. Aku juga tak terlalu khawatir untuk menghisap semua batang rokok ini. Aku bahkan tidak peduli melihat Julia, yang masih berusia lima tahun tapi selalu memungut sisa puntung rokokku dan mencoba melakukan apa yang kulakukan.
"Manis,"
Itu kalimat pertama Julia saat mencoba menghirup sisa puntung rokok milikku. Aku hanya tertawa tapi Sisil segera mengambilnya, mengoceh sepanjang hari agar aku berhenti merokok. Untuk seseorang yang gila kerja sepertiku, tak bisa aku berhenti merokok karena otakku akan bekerja ekstra setelah rongga hidungku dipenuhi oleh kepulan asap.
Kuurungkan niatku untuk menyalakan batang rokok kedua, memasukkannya kembali ke saku celanaku. Aku harus segera sampai di rumah karena sebentar lagi aku wajib mengantar anak-anak ke sekolah.
Julia dan Romi sudah berada di teras ketika aku sampai di rumah. Dengan wajah polos dan lugu, mereka dengan sabar menungguku.
"Ayah dari mana?"
tanya Romi yang berusia lebih tua tiga tahun dari Julia.
Sedikit gugup aku menjawab pertanyaannya,
"Ayah hanya mencari sarapan. Yuk, berangkat."
Tanpa membantah mereka mengikutiku masuk ke dalam mobil. Tak ada keceriaan atau keributan yang biasa terjadi seperti dulu ketika masih ada Sisil yang menemani mereka duduk bangku penumpang. Hari ini begitu sunyi. Julia memandang keluar jendela mobil, sedang Romi hanya terdiam saja dan memainkan mainan favoritnya.
"Kak, mama bilang kan tidak boleh membawa mainan ke sekolah,"
Suara Julia memecah kesunyian.
"Ayah, mama kemana sih? Waktu itu kata ayah, mama cuma pergi sebentar. Tapi nggak masalah deh, kalau mama belum pulang Romi bebas main game!"
ujar Romi antusias. Aku memperhatikan mereka dari kaca depan mobilku, melihat Julia yang bergerak mendekati kakakknya. Aku hanya tersenyum tak mampu menjawab. Julia memilikki mata seperti Sisil, hitam kecoklatan yang sedikit sendu. Membuatku semakin rindu pada istriku.
Sisil, di vonis terkena penyakit Bronchopneumonia Duplex –Suatu infeksi akut pada paru-paru yang ditandai oleh sesak napas. Membuat Sisil mengalami batuk berkepanjangan, penurunan berat badan, dan semakin lemah karena berkurangnya suplai oksigen ke dalam darah Sisil. Dia tak pernah mengeluh, tapi tubuhnya begitu menderita. Dan dokter berkata bahwa hal tersebut terjadi karena Sisil sering bertemu dengan asap rokok. Dengan kata lain, dia meninggal sebagai perokok pasif, dan akulah penyebab semua ini.
"Yah, kok diem aja. Kemana mama?"
Romi membuyarkan lamunanku.
"Eh? Mamamu sebentar lagi pulang, asalkan Romi sama Julia mau jadi anak rajin dan harus makan yang banyak,"
Kataku berbohong. Aku tak mampu menjelaskan pada dua anakku apa itu kematian. Mereka masih terlalu kecil. Tapi semakin hari, aku semakin tenggelam dalam kebohongan.
"Sekalian harus minum susu juga yah?"
Julia ikut bersuara. Suara manjanya yang menggemaskan membuatku tak tahan untuk menjawab pertanyaannya.
Bronchopneumonia Duplex.
Nama itu terus memenuhi pikiranku dan menyesaki perasaanku. Penyakit yang menggerogoti tubuhnya telah kutanamkan dalam dirinya semenjak bertahun lamanya. Tanpa sadar aku telah membunuh Sisil pelan-pelan selama ini. Tuhan berukuran sembilan cm itu telah mencabut kehidupan darinya, merenggut kebahagiaan yang seharusnya masih bisa dirasakan oleh Romi dan Julia. Entah manusia seperti apa aku ini yang begitu egoisnya memenuhi surgaku sendiri dengan asap dan racun tanpa henti.
"Ini terjadi karena asupan asap dan racun yang berasal dari rokok secara terus menerus. Istri anda memang bukan perokok, tapi menjadi seperti perokok karena tanpa henti menghirup asap itu dari rokok bapak."
Ujar dokter yang menangani Sisil ketika itu.
"Dan bukan tidak mungkin, itu pun akan diderita oleh putra putri anda,"
lanjut dokter itu lagi. Kalimat itu ikut berteriak dalam kepalaku. Sungguh tuduhan yang menyakitkan.
"AYAAAH!"
Romi dan Julia kompk berteriak. Aku segera menekan rem, mobil berhenti mendadak.
"Ayah jangan bengong terus. Sekolah Romi kelewatan tuh,"
Romi mendengus kesal. Julia tekekeh di sebelahnya. Aku melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil, membuka pintu belakang dan menurunkan Romi.
"Kalau sekolahnya sudah selesai jangan main kemana-mana. Tunggu di depan gerbang nanti ayah jemput,"
aku merapikan dasi pita yang ada di bawah lehernya.
"Tapi yah, biasanya mama membolehkan aku les musik dulu di rumah Anto,"
"Sekarang ayah yang mengurusmu, bukan mama. Sana cepat masuk kelas,"
ucapku datar. Romi mengangguk dan melangkahkan kakinya dengan malas. Kulambaikan tanganku kepada petugas penjaga gerbang lau aku kembali masuk ke dalam mobil.
"Siap jalan-jalan?!"
Kataku pada Julia. Di mengangguk senang. Aku mematikan pendingin mobil dan membuka kaca jendela sebelahku. Kunyalakan sebatang rokok dan asapnya segera menyeruak ke dalam mobil.
•••
Sudah dua minggu ini Julia sakit. Radang tenggorokan, batuk dan sesak napas. Aku sudah membawanya ke dokter umum, katanya hanya infeksi saluran pernapasan biasa. Aku lega karena tak tega melihatnya kehilangan nafsu makan. Ibuku pun sudah berulang kali marah agar aku memperhatikan kesehatan anak-anakku dan diriku sendiri. Namun yang membuatku cemas adalah sampai hari ini, batuk Julia masih saja ada.
Tidurnya tak pernah nyenyak karena selalu terbangun dengan batuk yang keras. Suara napas yang terdengar darinya begitu berat, terkadang bahkan sampai seperti tak bernapas. Mengingatkanku pada keadaan Sisil beberapa bulan yang lalu.
Rasa cemas mulai melingkupiku, aku takut dengan keadaan putri bungsuku.
"Ayah, apakah Julia akan meninggal seperti mama?"
Pertanyaan Romi mengguncang batinku. Aku menatap Romi setengah ketakutan, berharap itu tak terjadi.
"Jangan ngomong kayak gitu, Romi. Jangan bikin ayah sedih,"
kataku pelan. Kutarik lengannya agar mendekat denganku, kupeluk erat tubuhnya.
"Loh kenapa yah? Meninggal itu kan hanya pergi sebentar. Nanti juga balik lagi. Siapa tahu nanti Julia pulang kerumahnya sama mama,"
Dalam pelukanku, Romi masih bertanya. Aku menghirup udara bersih sekuat-kuatnya, kuhela napasku perlahan.
"Romi... Kamu tahu nggak, meninggal itu artinya, tertidur sangat lama. Kalau orang meninggal, dia tidak punya harapan lagi untuk melihat matahari. Mereka tidak akan pernah terbangun nak,"
"Meninggal itu rasanya sakit yah?"
"Tidak. Meninggal itu artinya tertidur lama, tidur pulas. Tidak akan merasa sakit, tidak akan batuk, tidak akan demam,"
"Kalau begitu Romi mau Julia meninggal yah, biar dia tidak sakit lagi. Romi sedih lihat Julia batuk terus setiap malam,"
Aku gemetar memeluknya. Tak dapat kubendung air mataku. Sisil... Bagaimana caranya menjelaskan ini semua?
"Meninggal memang tidak sakit, tapi orang yang ditinggalkan akan sangat sedih, kehilangan, dan sakit. Kalau Julia meninggal, nanti Romi nggak akan punya teman bermain lagi, dan kita berdua akan sedih,"
Romi terdiam. Berusaha mencerna apa yang kukatakan barusan.
"Memangnya Julia itu sakit karena apa yah?"
Aku terdiam sejenak. Ya, ini terjadi lagi. Penyebabnya sama seperti Sisil.
"Karena... Julia sakit karena... Karena... dia terlalu banyak menghirup asap kendaraan yang berbahaya, karena dia terlalu sering menghirup asap rokok, jadi dia sakit."
Aku benar-benar membutuhkan istriku sekarang, sangat sulit menjelaskan situasi ini, sendirian.
"Kalau gitu ayah harus berhenti merokok! Supaya Julia punya harapan untuk melihat matahari lagi,"
Aku mengerjapkan mataku berkali-kali, berusaha menahan air mataku tapi aku tak mampu. Kata-kata barusan seperti ucapan mendiang istriku sebelum wafat. Kata-kata barusan menamparku pada kenyataan bahwa aku akan kehilangan lagi orang yang kusayang jika aku terus mengepulkan asap itu. Aku bukannya tak berusaha untuk bebas dari cengkeraman iblis kecil yang berada di dalam kotak ini. Sudah kulakukan sejak kepergian Sisil. Kujauhkan dari diriku setiap kali aku penat dari pekerjaanku. Sebatang demi sebatang mulai kukurangi tapi tetap saja tak berarti apa-apa, karena lagi dan lagi aku kembali dalam perangkapnya.
Kupandangi Julia yang kini terbaring lemah di ranjang dengan infus menggantung di samping kanannya. Tubuh kecilnya semakin kurus. Senyum lugu dan nakalnya tak mengembang sejak lama. Putri kecilku kesakitan. Sakit yang disebabkan karena kebodohanku yang tak pernah berubah. Dokter bilang Julia sudah mengalami infeksi pernapasan bawaan dari sejak lahir. Asap rokok yang dihirup Sisil mengalir dan diterima dengan sempurna oleh janinnya kala itu. Lalu berlanjut dalam pertumbuhannya selama lima tahun ini. Pantas saja, sedari dulu Julia begitu rapuh, kesehatannya tak pernah baik-baik saja.
Aku tak tahu harus ungkapkan semua yang kurasakan ini kepada siapa. Aku benar-benar tak mau kehilangan dua permata hatiku. Kukeluarkan sebungkus rokok yang masih utuh, belum tersentuh. Kuambil gunting dari dalam laci meja rumah sakit, bekas memotong dedaunan karangan bunga yang layu.
"Ayah mau ngapain?"
Aku menoleh, tersenyum simpul pada Romi. Kugunting satu persatu batang rokok hingga menjadi serpihan yang tak dapat di bakar lagi.
'Harus bisa, mulai hari ini', batinku.
"Ayah akan berhenti merokok demi kamu, demi Julia, demi mamamu,"
kataku mantap. Kukecup keningnya, dan mengusap rambut Julia perlahan. Tak lama dokter masuk ke ruangan, memeriksa keadaan putri bungsuku. Suster mengganti infus dan dokter menurunkan stetoskop-nya. Wajahnya terlihat lesu dengan keadaan Julia.
"Apa masih ada harapan dok?"
Semoga saja aku masih diberikan kesempatan untuk memperbaiki kerusakan ini. Tapi dokter menggeleng lemah, raut mukanya terlihat tak bersemangat.
"Apa yang ada mau dari sebuah harapan pak? Anak anda bahkan tak punya harapan hidup. Fisiknya terlalu lemah,"
Hampir saja aku terjatuh mendengar perkataan dokter tadi. Rasanya tubuhku lemas dan kedua kakiku tak kuat menopang kenyataan yang akan terjadi.
"Dok, saya ingin anak saya sembuh. Lakukan tindakan medis apa saja, Dok. Tolong Julia."
"Anak anda mungkin masih bisa ditolong tapi apakah anda bisa menjamin kesehatannya akan pulih jika ia masih tinggal bersama dengan asap-asap rokok anda?"
Pertanyaan dokter menohokku kuat. Rasanya sakit mendapati aku memanglah penyebab semua ini. Setelah Sisil, haruskah Julia yang menanggung semua ini?
Tidak, putriku harus sembuh. Dia harus tumbuh sehat sampai besar nanti. Aku masih ingin melihatnya tertawa, tersenyum dan bahkan memintaku memberi restu suatu hari nanti.
Mungkin Tuhan menegurku kembali karena aku melalaikan tugasku untuk melindungi kedua anakku. Mungkin Tuhan membawaku kembali ke keadaan ini untuk mengingatkan aku untuk tak egois lagi.
Entah apa yang akan aku lakukan jika anak-anakku ini terbunuh karena tanganku sendiri?
Aku ketakutan, aku berdoa sepanjang hari. Berdoa pada Tuhan yang sesungguhnya Tuhan, tempat segala mengadu dan pemberi keajaiban. Aku memohon padaNya agar anak-anakku diberikan sekali lagi sebuah harapan untuk hidup dengan layak. Aku tahu aku salah, aku menyesal. Aku hanya bisa berharap dan memohon keajaiban setiap harinya. Dokter memang bilang tak ada kesempatan untuk hidup lagi, tapi bukankah kita tidak boleh berharap kepada manusia? Sebab hanya kekecewaan yang datang. Aku menaruh harapku pada pencipta jiwa ini. Karena Tuhan maha mendengar. Dan aku tahu, Tuhan benar-benar mendengar doaku.
Aku terbangun di hari minggu. Mataku silau terkena sinar matahari yang masuk melalui jendela rumah sakit. Rupanya aku tertidur semalaman. Kulihat Romi sedang bermain game kesukaannya dan Julia di sebelahnya, duduk manis melihat kakakknya bermain. Julia di sebelah Romi!
"Ayah, udah bangun?"
Suara manja Julia menegurku. Dia dan Romi menatapku. Aku hanya mengangguk. Mereka terlihat begitu sehat.
•••
Perokok pasif menyebabkan 600.000 kematian prematur per tahun. Ada lebih dari 4000 zat kimia dalam asap tembakau, yang 250 zat diketahui berbahaya dan lebih dari 50 zat diketahui menyebabkan kanker. Di Asia Tenggara dan Afrika diperkirakan 165.000 anak meninggal karena infeksi pernapasan yang disebabkan karena asap. Tolong berhenti merokok, demi orang-orang yang kita sayangi.
-Ayah dari Romi dan Julia.
•••
Cerpen Kolaborasi @indtari (Indah Lestari) dan @unidzalika (Uni Dzalika)
ini kalimat paling menyentuh :
BalasHapusDia harus tumbuh sehat sampai besar
nanti. Aku masih ingin melihatnya tertawa, tersenyum dan bahkan memintaku memberi restu suatu hari nanti.
benar-benar jiwa seorang bapak. mari berhenti merokok!
semoga apapun halnya yang diawali dengan kesadaran dan kesabaran itu bisa membuat langkah awal menuju keadaan yang lebih baik di kemudian waktu.
BalasHapusCerpen kolaborasinya keren hehe, ada pesannya juga :') yuk Uni bikin lagi, tapi sama aku mehehe :p
BalasHapus