Desing suara mesin metromini terdengar dari kejauhan. Pun terdengar suara ketukan uang koin yang beradu dengan kaca jendela, sang kondektur memberi kode pada pak sopir agar memberhentikan kendaraannya melalui ketukan tersebut. Pukul 13:00 metromini tujuanku sampai tepat waktu, di depan halte pemberhentian. Asap knalpotnya mengepul, berbaur dengan asap cerutu yang dihasilkan para penumpang dari dalam metromini. Beberapa pemuda berseragam putih-hitam turun dari dalam metromini, dan kami para penunggu bus yang sejak tadi berdiri di halte, segera berdesakkan masuk. Aku seharusnya segera naik karena kalau terlambat sedikit, bisa saja aku terjatuh oleh laju kencangnya kendaraan tak berkeprimanusiaan itu. Tetapi kakiku mematung.
"Naik nggak neng?"
Kondektur metromini menegurku ramah, aku menggeleng sopan dengan menyunggingkan sedikit senyumanku. Lalu metromini itu kembali berjalan dengan kecepatan seimbang. Metromini itu memang kendaraanku untuk pulang, memang itu tujuanku, tapi aku enggan pulang dengan metromini untuk sekarang. Aku mau mencoba sesuatu yang berbeda, naik angkutan umum. Baru beberapa kali aku naik angkutan yang kerap disebut sebagai angkot dan aku menyukainya. Jadi kuputuskan saja untuk menunggu lagi. Aku kembali membaca buku yang kupegang tapi seseorang dari balik jendela angkot menegurku.
"Jambu dua neng?"
Sebuah angkutan hijau bernomor 09 berhenti tepat di depan halte.
Aku mengangguk pada sang sopir, lalu naik.
•••
"Gimana Ri, enak nggak tinggal di Bogor?"
Mega usil bertanya padaku saat aku meneleponnya. Begini rutinitasku, menelepon Mega sahabat baikku yang masih tinggal di Ambon -kota tempat tinggalku dahulu. Aku sengaja memutuskan untuk pindah ke Bogor karena aku harus melakukan penelitian suatu tumbuhan dalam menyelesaikan tugas akhirku, dan Bogor adalah kota yang tepat. Kota ini terletak di
antara kaki gunung Salak dan kaki gunung Gede sehingga sangat makmur dengan milyaran
tetes-tetes air yang jatuh dari langit. Banyak uap air yang naik secara mendadak di wilayah Bogor sehingga langsung terkondensasi dan menjadi hujan. Hampir setiap hari turun hujan di kota ini sehingga tak ayal dijuluki sebagai "Kota Hujan". Selain itu, para kolonial Belanda pada masa dahulu menjadikan Bogor sebagai
pusat penelitian botani dan pertanian, yang diteruskan hingga sekarang. Tentu saja aku tahu itu semua dari dosenku. Aku sengaja memilih Bogor. Yaa... tidak bisa dibilang terpaksa juga, sebab dosen pembimbingku mengatakan kebun penelitian besar hanya terletak di kota ini. Kebun Raya Bogor namanya, yang mempunyai luas mencapai 80 hektar dan
memiliki 15.000 jenis koleksi pohon dan tumbuhan. Selain ramai dikunjungi sebagai tempat wisata, di sana tersebar pusat-pusat keilmuan untuk penelitian semacam Herbarium Bogoriense, Museum Zoologi, dan masih banyak yang lain yang tak kuhapal. Aku masih membayangkan betapa luasnya kota Bogor tapi suara Mega disebrang sana menegurku. Lamunanku buyar, aku segera menyambung bahasan.
"Baru juga seminggu Megaaa! Sejauh ini sih, aku nyaman. Hujan terus setiap hari, penuh polusi, penuh angkutan, sesak oleh pedagang, eh tapi makanannya
enak semua disini. Kamu harus coba asinan Bogor-nya, dan Laksa, Soto mie, pokokknya banyak,"
Ucapku penuh semangat. Yah, sejauh ini memang menyenangkan tinggal di Bogor, aku suka cuacanya. Mega semakin banyak bertanya, dan selalu begini.
Perbincangan kami bisa sampai dua jam untuk membahas hal-hal yang kadang tak perlu di bahas. Aku melirik jam dinding di kamarku. Hampir pukul dua pagi. Segera kusudahi perbincanganku dengan Mega, dan sebelum kututup teleponku, masih terdengar suara Mega bertanya,
"Eh Riana, sebentar. Emm, serius kamu betah di Bogor? Kamu nggak akan nyasar kalau naik angkot kan? Aku khawatir karena matamu..."
"Iya Megaaaa, nggak akan nyasar kok, kamu lebay! Sudah yaa. Sleep tight baby,"
"Babay Rianaaa,"
Bip. Kuputuskan sambungan. Lalu sepi menjalar ke seluruh sudut ruangan. Sejujurnya aku memang selalu tersesat dalam perjalanan pulang. Aku selalu salah naik angkutan. Bukan karena aku tidak tahu jalan. Sungguh aku tahu rute jalan, aku tahu harus naik angkutan nomor berapa, tapi untuk aku memiliki masalah pada mataku, aku selalu salah melihat nomor yang tertera di setiap angkutan, dan semua angkutan di Bogor itu sama: berwarna hijau. Tidak, aku tidak buta. Aku hanya punya sedikit masalah pada
penglihatanku.
Minus enam tapi tak pernah mau memakai kacamata.
•••
Aku menyesap oksigen yang sudah terkontaminasi dengan sedikit karbodioksida. Kubuka mataku perlahan, semua tampak berwarna jingga. Hanya lampu lalu lintas yang berwarna hijau, menandakan kalau aku belum boleh menyebrang. Aku menyaksikan ada yang malu-malu bersinar kemerahan dari kancah langit di wilayah barat. Merah saganya sudah setara dengan bahuku. Aku selalu suka suasana senja, penuh ketentraman. Poin plusnya kota Bogor adalah, adanya keseimbangan tempat beribadah, dan rukun tetangga yang saling bertoleransi meskipun berbeda keyakinan. Seingatku, kemarin seorang tetangga sempat memberikan peta wilayah Bogor agar aku tak terlalu asing di kota ini. Tetangga sebelahku juga memberitahu beberapa tempat ibadah juga dijadikan sebagai tempat wisata di Bogor. Ah indah sekali kota Bogor.
Hari sabtu ini aku kerepotan. Tadi selepas subuh Mega mengabarkan kalau dosen pembimbingku sedang pergi ke luar negri, membuatku sedikit kesulitan dalam berkonsultasi. Aku harus keliling kesana-kemari, bolak-balik ke tempat Herbarium dan semacamnya, dan tanpa sadar ini kali pertama aku akan pulang di atas pukul enam malam. Ini yang membuatku misuh-misuh sendiri, aku sulit melihat. Penglihatannku melemah diatas pukul enam
sore. Rabun, berbayang, dan letak retina mataku tak fokus menatap. Entahlah jenis penyakit apa namanya. Kulirik jam tanganku yang berwarna putih susu, hampir pukul enam. Sejak selepas Ashar aku hanya berdiri disini tanpa berani melangkahkan kaki untuk
menyebrang. Tapi srkarang sudah lampu merah, aku harus menyebrang menuju perempatan jalan di mana semua angkutan berbaur dan tak henti menekan klakson, dan aku tak berani menyetop angkutan. Aku hanya berdiri di pinggir jalan, sambil sesekali memandangi semua yang ada di sekitarku.
Aku kini berdiri di simpang tiga Jalan Raya Pajajaran, Otista, dan Baranangsiang. Terminal yang sekaligus berhadapan langsung dengan pusat perbelanjaan termewah di wilayah ini. Tak jauh dari samping kanan tempatku berdiri, dengan kokohnya sebuah monumen sederhana yang sangat memukau terkena tampias sinar senja, itulah Tugu Kujang. Bagian puncaknya yang berbentuk seperti puncak Monas berwarna keemasan yang terbuat dari stainles steel berlapiskan perunggu dan kuningan. Aku masih
memandanginya dalam keremangan senja. Di setiap beton yang berdimensi tiga, dipasang perisai lambang Kotamadya Bogor yang teridiri dari Burung Garuda, Istana Kepresidenan, Gunung Salak, dan senjata Kujang. Aku berdecak kagum, ini sangat minimalis tapi sarat akan makna. Lalu, bagian bawah Tugu Kujang terdapat suatu plaza yang berisi tulisan dari prasasti Lingga dan Batutulis Kerajaan Pajajaran yang dipimpin oleh Sri Baduga Maharaja Ratu Adil. Aku jadi ingat itu, saat pelajaran sejarah semasa SMA dulu. Isi tulisan Plaza tersebut adalah;
“Dinu kiwari ngancik nu bihari seuja ayeuna sampeureun juga,” yang memiliki arti,
“Apa yang dilakukan hari ini dan esok harus lebih baik dari hari-hari sebelumnya,”.
Aku masih sesekali melirik teleponku, menatap detik jarum jam yang terus berganti. Resah. Aku benar-benar tak bisa melihat nomor angkutan dengan jelas.
Kubuka buku penelitianku dan membacanya sedikit.
"Mau kemana?"
Aku menutup buku bacaanku dengan paksa, menghentikan aktivitasku dari membaca karena seorang pemuda tiba-tiba saja bertanya padaku. Ada empat orang di sekitar sini. Aku, pemuda itu, seorang bapak dengan kemeja kantornya, dan seorang lelaki yang tak waras sedang tertidur pulas di ujung pos polisi tanpa petugas. Sepertinya pemuda itu juga sudah sejak tadi berdiri di sebrang Tugu Kujang ini. Ia memakai batik dengan lengan panjang yang digulungnya sampai tiga perempat. Pemuda dengan tampilan sederhana itu sungguh menarik. Berdiri tak jauh dariku, tanpa tas, dan memakai celana jeans biru juga sendal jepit yang sepertinya sudah lama menemaninya menempuh perjalanan. Aku yakin dia orang baik. Aku berpikir cepat, ingin meminta bantuannya mencarikan angkot untukku, tapi kuurungkan niatku.
"Mau pulang,"
Sahutku datar tapi tetap tersenyum. Tentu, senyuman itu harus selalu ada meskipun itu hanya senyuman kepura-puraan.
"Tujuannya?"
Ia bertanya lagi. Aku menatapnya, mata kami bertemu. Ada urat-urat berwarna merah muda di ujung matanya, ia seperti tampak kelelahan. Tampan, hanya saja sedikit tidak terawat.
"Jambu dua,"
"Kalau mau kesana kenapa nggak naik dari tadi? Kamu sudah hampir sejam disini,"
Dia mengerutkan dahinya. Aku menyunggingkan senyum. Ah, peduli sekali dia, sampai tahu kalau aku sudah sejam disini.
"Loh kamu sendiri kenapa hampir sejam disini? Apa tak punya tujuan?"
Candaku sambil tetap mempertahankan senyumanku. Ia ikut tersenyum, menggelengkan kepala cepat, lalu segera maju beberapa langkah. Mengibaskan
tangan kanannya ke pinggir jalan, menyetopkan satu angkutan bernomor nol sembilan, dan menatapku.
"Ini angkotnya. Cepat naik, ini sudah hampir malam, anginnya nggak bagus,"
Aku menurutinya, baik sekali orang ini. Lalu angkutan melaju cepat, aku sedikit menutup mataku, tertidur sejenak, dan secara sadar terbayang-bayang
akan wajah pemuda yang telah membuatku melayang-layang.
•••
Pukul enam sore, aku masih di halte dengan lambung yang sudah penuh oleh jus alpukat yang tadi kubeli di pinggir jalan. Seminggu sudah sejak pertemuan itu, aku dan dia semakin rajin bertemu, kin ada lagi pemuda itu. Kali ini ia memakai kaus hitam, dan sama seperti sebelumnya, dengan sendal dan tanpa tas.
"Tumben pulang cepat. Nggak mau pulang malam lagi?"
Sapanya lembut. Aku menyunggingkan senyuman, tentunya yang ini benar-benar tersenyum. Tersenyum bisa kembali bertemu dirinya, bisa kembali mendegar suaranya, bisa menatap matanya lagi, aku benar-benar tersenyum dengan lepasnya.
"Justru bahaya kalau pulangnya kelamaan. Biasanya kan, sebelum jam enam aku sudah pulang,"
"Terus kenapa sekarang nggak langsung pulang?"
Aku terdiam, menyembunyikan keinginan terbesarku untuk terus bertemu dengannya. Otakku berpikir cepat, segera mencari alasan terbaik yang pernah
kumilikki.
"Gini, aku punya masalah pada mataku, bisa bantu nggak hentikan angkotnya untukku. Aku baru tinggal di Bogor dan aku sulit membedakan, soalnya semuanya sama-sama berwarna hijau,"
"Oooh jadi begitu. Sini,"
Ia menarik lenganku. Membawaku sedikit ke tepian jalan, keluar dari atap halte. Yes! Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui! Aku berhasil berbicara dengannya, menahannya agar berlama-lama denganku.
"Lihat bamper di bawah angkotnya. Perhatikan baik-baik,"
Aku memperhatikan dengan saksama. Ada yang beda, warnanya bukan hijau.
"Matamu bermasalah tapi kamu tidak buta warna kan?"
Ucapnya lembut. Aku mengangguk. Hatiku berbunga-bunga.
"Nah, perhatikan. Kalau mau ke Jambu Dua, cari yang bampernya berwarna ungu muda. Atau yang berwarna merah nomor 08 itu, juga mengarah ke Jambu Dua. Kalau mau ke Cimahpar cari yang merah muda bernomor 05. Nah yang kuning itu... Kamu lihat kan, yang kuning bamper-nya nomor 06 menuju Padjajaran. Sedangkan yang biru nomor 01 akan membawamu ke Tajur, sisanya kamu cari tahu sendiri ya, intinya lihat bamper angkotnya,"
Suaranya yang lembut menghipnotisku untuk memperhatikan dengan saksama. Semua warna dan tujuan angkutan tersebut, dengan cepat terserap dalam otakku. Aku mengangguk. Dan kulihat ia tersenyum. Senyuman paling indah di mataku.
Tetapi sejak hari itu, aku tidak pernah lagi bertemu dia. Tidak ada di halte, tidak juga di sebrang monumen Tugu Kujang, tidak tahu namanya, tidak tahu dia tinggal di mana, tidak pernah lagi bertemu. Pun Tugu Kujang yang selalu menemaniku hanya bisa menjadi saksi bisu yang tak berani berbicara mengatakan keberadaan pemuda itu. Aku memang tidak lagi tersesat atau salah naik angkutan. Tapi kalau tahu begini, aku lebih baik tidak tahu tentang angkutan yang bawahnya berwarna-warni itu. Aku lebih suka dia berhentikan angkutan untukku, dan aku lebih suka ada dia halte ini menemaniku, daripada ditemani belasan orang yang tetap ada di halte. Dan dia tak pernah lagi ada sejak saat itu, bahkan berminggu-minggu berikutnya, aku tetap sabar menunggu kedatangannya, sampai sekarang -enam bulan setelah kejadian itu. Aku tahu persis ada yang aneh dengan perasaanku. Jantungku tak pernah normal memompa darah, membuatku tak pernah tenang setelah bertemu dengannya, seluruh otot-ototku melemas saat di dekatnya, dan aku tahu bahwa hatiku sudah terpaut padanya. Sekarang, saat aku ingin lebih dekat dengannya, yang kutemukan hanyalah barisan angkutan yang selalu menyapaku di halte. Yah, maksud hati memeluk gunung, apalah daya tangan tak sampai.
Sebuah pesan masuk dari Mega membuyarkan lamunanku.
“Riana sabar ya. Ada saat dimana sesuatu yang kita inginkan tidak dapat tercapai. Kamu harus bisa berbesar hati dan sabar. Tapi kamu ingat, sabar bukan berarti pasrah. Kamu cukup mengerti bahwa keadaan tak pernah bisa menyesuaikan dengan keinginanmu. Dan kamu mesti sadar, kita hidup di dunia penuh pengharapan dan ketidakpastian, penuh kekecewaan, penuh beban pikul dalam hidup. Kamu bukan hidup di dunia dongeng yang semua orang tahu bahwa cerita dongeng akan berakhir bahagia,”
Aku tersenyum kecut membaca pesannya. Baru tadi malam bercerita, sekarang dia mengirimkan pesan dengan sok bijak. Tapi ada benarnya juga pesan Mega. Aku hidup disini, di belahan bumi bernama Bogor yang menciptakan kenangan tentang dia. Aku menyesal tak pernah tahu namanya, tak tahu
lebih tentangnya. Dia telah membuat hidupku lebih berwarna, lebih banyak warna dibandingkan bamper angkutan yang tersedia di Bogor. Ini hari terakhirku di Bogor dan sangat disayangkan aku tak akan lagi berjumpa dengannya. Baiklah, anggap saja bertemu dia di Bogor sebagai bonus.
"Jambu dua neng?"
Seorang sopir menegurku. Aku mengangguk, melemparkan sedikit senymanku, dan segera naik. Selamat tinggal Bogor, dan kamu.
•••
point penting dari cerita ini adalah:
BalasHapus"Ada saat dimana sesuatu yang kita inginkan tidak dapat tercapai. Kamu harus bisa berbesar hati dan sabar. Tapi kamu ingat,
sabar bukan berarti pasrah,"
keren.