“Kamu mau nggak hidup di surga selamanya?”
“Nggak,”
“Kenapa?”
“Aku mau hidup di dunia, satu hari saja, asalkan bersama kamu,”
Matanya menatap ke laut lepas, sedangkan aku masih
terpaku pada senyum tulusnya. Senyum yang selama ini menenangkanku itu, tak kuasa aku menghapusnya. Entah bagaimana lagi aku harus membujuknya agar dia membatalkan perjalanan ini. Sudah berkali-kali kujelaskan bahwa melawan orang tua, terlebih ibu, adalah hal yang buruk. Aku tak ingin dia jadi anak yang durhaka, meskipun aku harus mengorbankan hubungan kami yang tak direstui ini.
Suara debur ombak yang menabrak dasar kapal memecah keheningan yang beberapa menit menyergap kami. Lalu kuraih tangan kekasihku itu. Kugenggam erat.
“Aku sungguh nggak mau kehilangan kamu. Tapi apa yang lebih berharga dalam hidup ini selain restu ibu?” kutatap matanya dalam-dalam.
“Entahlah…” dia tertunduk lesu. Kuangkat dagunya dengan lembut.
“Kita nggak harus seperti ini, sayang,”
Kedua mata kami saling memandang. Mata yang penuh ketulusan kudapati di sana. Tak ada keraguan memang, bila sebuah ketulusan kupertanyakan kepadanya.
“Aku mencintaimu…” katanya lirih.
Sontak kupeluk erat tubuh mungilnya yang berada di
hadapanku. Seakan tak ingin melepasnya. Sudah terlalu banyak yang ia korbankan untuk hubungan ini. Sedangkan aku? Aku hanya mampu memberikan sejuta rasa yang tulus kepadanya.
Hembusan angin yang kian menyekap membuatku
larut akan kebersamaan ini. Ingin rasanya kuhentikan
waktu yang terus-menerus berputar. Kulingkarkan lenganku di pundak bidadariku. Melindunginya dari dingin malam yang kian menusuk.
“Ayo masuk, nanti kamu masuk angin,” ucapku sambil
melepaskan dekapanku pelan-pelan. Lalu dengan sigap kukenakan jaket kulitku ke tubuhnya.
Setelah kami duduk di kursi penumpang, digenggamnya tanganku.
“Sayang, aku nggak bisa kalau kita harus pisah,”
“Apalagi aku. Makanya aku lebih memilih pergi dari rumah,”
disandarkannya kepalanya ke bahuku.
“Tapi bukan begitu caranya, sayang. Bagaimanapun
hubungan kita gak akan baik selama nggak ada izin dari ibumu.”
“Jadi kita harus bagaimana?”
Aku terdiam sejenak. Aku ingat sekali air muka ibunya yang selalu tak ramah saat melihatku. Ibunya selalu bilang bahwa aku parasit, tidak memiliki masa depan, dan hanya memanfaatkan anak gadisnya demi harta keluarga. Aku sebenarnya tidak seperti itu. Hanya saja ibunya berkali-kali mengatakan kepada banyak orang bahwa aku seorang materialistis. Jadi, jangan salahkan jika aku benar-benar menjadi orang jahat karena perkataan ibu kekasihku ini.
Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku telah menjadi sesuatu yang buruk dimata keluarganya.
‘Aku tidak akan pernah menerimamu di keluarga ini!’
Betapa aku akan selalu mengingat perkataan ibunya waktu itu. Ketika jari telunjuknya mengarah padaku dan mengusirku dari rumahnya. Aku terpaksa menjalani hubunganku dengan Elina secara diam-diam, tanpa diketahui ibunya. Aku ingin sekali
menyerah pada keadaan ini tapi besarnya rasa cinta yang diberikan Elina membuat aku tak ingin melepaskannya.
Sampai idenya untuk melarikan diri dari rumah tak bisa dihindari. Ada rasa berdosa, tapi rasa cinta ini
mengalahkannya. Kuhembuskan napas cukup panjang, aku pun tak tahu harus bagaimana menghadapi ini. Apa yang harus kulakukan untuk membuat sikap ibunya berubah terhadapku?
“Lin, kamu sekarang istirahat dulu, ya. Mungkin masih dua jam lagi kita sampai pelabuhan. Biar aku yang jagain kamu,”
“Iya, aku sudah ngantuk banget nih,” kemudian dia
beringsut dari dadaku. Dua kursi kosong yang ada di
sampingnya sekarang sudah menjadi kasur baginya.
Kuberikan ranselku sebagai bantalnya.
Sekejap saja dia sudah terlelap begitu pulas. Aku
tersenyum memperhatikan wajahnya, tapi ada kegetiran yang menjalar di hatiku. Kami pergi jauh dari rumah. Entah ke mana, tanpa tahu tujuan.
Aku melihatnya tertidur dengan damai. Seperti katanya, bersamaku adalah hal terindah baginya, meski dalam keadaan susah. Aku kemudian melihat isi dompetku dan hanya bisa menghela nafasku.
“Uang tinggal segini, bagaimana nanti aku dan Elina bisa hidup untuk sehari-hari?” aku merasa pesimis dengan keadaan.
“Aku harus cari kerja nanti, paling tidak ada uang
untuk makan,”
Aku menutup mataku, tak kuasa menahan segala cobaan ini. Ya Tuhan bantu aku melewati segala rintangan ini. Lama aku terdiam dan menutup mata, lalu air mataku jatuh tanpa aku perintahkan.
“Sayang kamu nangis?”
Aku terkejut tak menyadari bahwa Elinda telah bangun dari tidurnya. Lagi, kutatap dalam-dalam wajahnya. Ada banyak kenangan yang terekam dalam bola matanya, dan terukir semua kejadian kami di setiap lengkung bibirnya. Aku selalu teringat masa-masa itu, saat dimana ia lebih banyak mengeluarkan uang demi aku, dan ibunya tak pernah tahu.
Dulu, banyak sekali tawa yang kami hasilkan, banyak suka cita. Tak peduli semua orang menganggap bahwa hubungan kami berat sebelah karena Elina lebih mendominasi. Sekarang, aku ragu kalau hubungan ini di teruskan aku akan semakin menderita karena merasa tak bisa membahagiakan dia.
“Sudah, lupakan Lin. Aku nggak nangis,”
Aku mengusap air mataku, segera berdiri dari tempatku. Rasanya mengirup udara laut akan lebih menenangkan. Elina memegang lenganku segera. Memeluk tubuhku dari belakang seolah ia tak menginginkan aku pergi jauh darinya.
“Kamu nggak usah memikirkan kita. Aku akan baik-baik saja selama itu bersamamu,”
Aku menghela napas panjang, membalas peluknya, kuusap lembut telapak tangannya yang kini berada diperutku. Aku membalikkan badanku, memegang mukanya yang mungil dengan kedua telapak tanganku,
“Aku janji, aku janji, selama kamu bersamaku, sebisa mungkin aku akan jaga kamu. Aku janji aku akan selalu berusaha buat kamu bahagia,” ucapku lirih.
Perjuangan yang selama ini telah Elina tunjukkan kepadaku rasanya sangatlah tidak setimpal jika aku memiliki pikiran untuk berbuat apa yang selama ini sering ibunya tuduhkan kepadaku. Elina tak sepantasnya mendapatkan balasan atas pelampiasanku terhadap ibunya.
“Iya, aku percaya sama kamu, kok,”
dipeluknya lagi tubuhku.
“Kamu nggak ngantuk lagi?” tanyaku sambil membelai
rambutnya.
“Nggak. Yuk lihat bintang lagi, sebentar lagi udah pagi, nanti nggak ada lagi bintangnya,” dilepasnya pelukan pelan-pelan, lalu digamitnya lenganku. Kapal ini seperti milik kami sendiri, tak peduli tatapan penumpang lain yang memandang kami dengan sinis. Aku yakin mereka semua pasti iri dengan kemesraan kami.
Di luar, angin laut sudah tidak sedingin tadi, semburat
cahaya fajar mengintip dari timur cakrawala, suara debur ombak semakin deras menghantam-hantam badan kapal.
“Sepertinya sebentar lagi kita sampai,”
bisikku kepada Elina.
“Iya, itu sudah kelihatan lampu-lampu kotanya. Kamu siap kan, kita mulai hidup baru?” dia tatap mataku penuh pengharapan. Kapal dengan pelan merapat ke pelabuhan. Aku dan Elina bergegas turun dari kapal dan melangkahkan kaki keluar dari kapal. Aku mengarahkan mataku ke segala penjuru tempat. Mencoba mencari arah kemana kami akan melanjutkan perjalanan.
“Ini di mana sayang, kita sekarang mau kemana?” tanya Elina kebingungan.
“Aku juga nggak tahu, yang pasti kita cari tempat tinggal dulu,”
“Sayang aku lapar,” ucap Elina.
“Ya sudah. Kita sekarang cari makan dulu ya,”
Aku melihat wajah Elina yang tampak kelaparan.
“Kita ke sana aja,” aku menunjuk ke arah depan, menunjuk jauh. Aku memakaikan jaket kulitku pada Elina, kami berjalan pelan meninggalkan pelabuhan. Elina hanya mengangguk, mengikuti saja apa yang dikatakan olehku. Aku segera berjalan menuju tempat yang tadi kutunjuk. Sejujurnya aku khawatir bagaimana kalau tempat tersebut tidak aman, bagaimana kalau ternyata kota ini tidak baik untuk kami jadikan tempat tinggal, tapi semua kekhawatiranku kututup rapat-rapat, biarlah aku sendiri yang merasakan ke khawatiran ini. Aku tak ingin melibatkan Elina.
Elina memilih makanan yang disajikan di warteg sederhana yang kutunjuk tadi. Menyendokinya ke dalam mulut dan ia menikmatinya.
“Tempat makan macam apa ini!?”
Kami sontak memutarkan badan kami. Suara yang tak asing lagi bagi kami, terdengar di telinga kami.
“Ibu!” Elina sesegara mungkin mendekatkan tubuhnya ke tubuhku, memelukku erat seakan tak ingin dipisahkan lagi oleh ibunya.
“Elina… Elina, bahkan untuk makan saja kamu di ajak ke tempat yang seperti ini. Gambaran awal kehidupanmu bersamanya saja sudah seperti ini. Bagaimana nanti Elina?”
Aku sangat terkejut dengan ucapan orang yang selama ini sangat menentang hubunganku dengan Elina. Bagimana bisa dia berada tepat di hadapan kami sekarang?
“Kenapa, kalian heran kenapa ibu bisa berada di sini? Ibu melacak keberadaan kalian melalui GPS yang ada di handphone Elina,” seraya membulatkan matanya, ibu berucap tegas. Aku masih terdiam dalam pelukan Elina yang dengan eratnya tak mau melepaskanku. Tubuhku gemetar, jantungku berdegup kencang tak percaya Tante Ema telah ada di hadapan kami dengan membawa beberapa orang, dua di antaranya berpakaian Polisi.
Tante Ema menarik tangan Elina, memaksanya melepaskan pelukannya dariku. Aku melihat Elina menangis.
“Lepasin tanganmu dari dia Elina, ikut Ibu!” ucap ibu Elina dengan lantang. Sementara dua orang polisi yang dibawa Tante Ema membantu. Pelukannya terlepas, dengan segera tante Ema memisahkan kami, dan dua polisi itu memegang tanganku.
“Kamu kami tangkap dengan tuduhan membawa lari anak orang,”
“A… a… aku tidak membawa kabur dia, Pak,” ucapku
terbata-bata.
“Ah, sudah. Kamu jangan banyak alasan. Tangkap aja dia pak polisi,” Tante Ema dengan emosi berkata demikian. Aku kemudian dibawa pergi oleh kedua polisi tersebut tanpa sempat melihat Elina.
Baru saja aku memasuki mobil polisi itu, tiba-tiba terdengar suara dentuman keras. Sepertinya berasal dari dua mobil yang berbenturan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Aku mengenali salah satu mobil yang berada di sana. Mobil hitam dengan nomor polisi B 3595 EF. Aku segera berlari keluar dari mobil polisi yang tak lama sebelum itu kumasuki, menyusul satu polisi yang tadi membawaku masuk berlari menuju ke tempat kejadian. Tak ada satu korban pun yang sadarkan diri dari kecelakaan tersebut.
Puing-puing kaca mobil tersebar di sana. Kudapati Elina, ibunya, serta pak sopir yang biasa mengantar keluarganya kemana-mana bersimbah darah di bagian kepala. Aku terduduk lemas. Tubuhku gemetaran. Dua polisi tak lagi memaksaku untuk masuk ke dalam mobilnya. Aku segera memegang tubuh Elina. Mengguncang bahunya dengan keras agar dia sadar. Mataku terpejam.
“Yang… yang? Yang! Sayang kenapa?!” Kudengar suara Elina. Mataku sedikit berkabut karena air mata yang tidak dapat kutahan.
“Kamu melamun nih,” Elina mengagetkanku.
Aku menatap sekeliling. Tidak ada darah. Tidak ada orang-orang berseragam polisi. Tidak ada Tante Ema. Semua masih sama seperti saat kami turun dari kapal. Masih di tempat makan ini. Hanya yang berbeda, lampu-lampu jalan sudah mulai padam dan suasana lebih terang karena sinar matahari pagi. Melamun macam apa aku. Segera kupeluk erat tubuhnya.
“Setelah makan, kita langsung ngurusin pernikahan kita ya, aku tidak mau ada hal buruk yang terjadi,” ucapku lembut pada Elina.
***
Dua bulan setelah kejadian mimpi burukku, akhirnya aku berada di depan ribuan pasang mata yang tampaknya bahagia melihat aku duduk bersanding di pelaminan bersama Elina.
Kualihkan pandanganku pada orang tuaku, mereka tampak bahagia. Sama seperti tante Ema, tak terlihat raut wajah kekejaman seperti dalam bayanganku waktu lalu. Aku bernapas lega, menarik napasku dalam-dalam dan mencoba menghilangkan rasa gugup yang sedikit merasukiku hari ini.
Aku berdoa dalam hatiku di tengah-tengah sang
penceramah melafalkan doa-doanya. Aku tak ingin kehilangan kebahagiaan ini. Kebahagiaan yang
terindah dalam hidupku.
Di akhir doaku, lafal amin juga terdengar diucapkan oleh seluruh orang yang ada di ruangan ini. Aku tersenyum bahagia.
Tulisan kolaborasi Dyaz Afryanto, Ellya Anggraini, Uni
Dzalika, Putra Zaman
Tidak ada komentar:
Ada pertanyaan atau kamu ada masukan?
Ditunggu komentarnya!:)