“Gue suka banget sama Jhon.
Serius!!”
Aku mengatakannya
berulang-ulang. Nurmi diam, berkali-kali memandangi jam di belakang meja kami.
“Lo kenapa sih ngeliatin jam
mulu? Elo dengerin kan?”
Kesal, aku sengaja memutar
kepala Nurmi menghadapku.
“Dika lagi? Kenapa sih lo nggak
putus aja? Kayak nggak ada cowok lain deh,”
Nurmi seakan berpikir dalam
dunianya dan mengacuhkanku sepenuhnya. Matanya kosong. Kembali ke laptopnya
tanpa menggubrisku sama sekali. Aku kembali ke laptopku mengetikkan sebuah nama
di kolom search dan muncul lagi akun
facebook Jhon, gebetan baruku dan aku kembali sibuk mencari tahu.
Hening.
Tiba-tiba Nurmi menangis.
Diam-diam semakin tersedu, memilukan sekali.
“Lo kenapa? Cerita dong kalo ada masalah. Gue kan temen lo.
Ada masalah sama Dika? Lo jangan diem aja. Gue dukung lo, Mi.. Apapun keputusan
lo, gue akan support lo..”
Aku panik melihat Nurmi yang
menangis tertahan seperti menanggung sakit yang tak terkatakan. Aku memeluknya.
Nurmi, sahabatku.
“Gue sayang banget sama Dika.
Tapi lo lihat apa yang dia lakuin ke gue. Kalo gini caranya namanya dia nyiksa
gue. Dia nggak peduli sama gue. Gue kangen Ra. Gue kangen!”
Nurmi bicara antara sedu sedan
dan air mata berlinang. Aku bingung. Aku tadi memang kesal karena Nurmi tidak
mendengarkanku, tapi aku juga harus menenangkannya agar tidak larut dalam
pikiran negatifnya tentang Dika. Bahkan aku tahu, Dika tidak seburuk itu. Jelas
aku tahu, Dika itu saudara sepupuku. Dan aku jauh lebih lama mengenalnya. Aku
sejak dulu juga tahu bahwa Nurmi sebenarnya sangat kekanakan dalam urusan
percintaan. Tapi aku selalu berusaha menjadi pendengar yang baik buatnya, buat
sahabatku. Nurmi masih terus menangis. Mengeluarkan seluruh rasa rindunya
melalui tetesan air mata yang jatuh membasahi wajahnya.
Aku bingung sekali. Aku sedang bergembira karena bertemu lelaki idamanku, tapi aku tak bisa membagi kebahagiaanku kepda Nurmi yang sedang bersedih. Ah… Mengapa urusan cinta selalu sesulit ini.
Aku bingung sekali. Aku sedang bergembira karena bertemu lelaki idamanku, tapi aku tak bisa membagi kebahagiaanku kepda Nurmi yang sedang bersedih. Ah… Mengapa urusan cinta selalu sesulit ini.
“Kalau kamu rindu, kamu tinggal
telepon dia kan?,” aku bertanya pelan, khawatir melukai perasaannya. Nurmi
sedikit mendongak, menatapku iba. Lalu ia menggeleng perlahan.
“Bukan begitu, Ra,”
“Dika memang nggak akan lagi
peduli sama gue! Dia… Dia… Seseorang bilang padaku dia seorang gay,” Nurmi
kembali menangis. Kali ini aku yang kebingungan.
“Lo tau? Gimana sayangnya gue ke
Dika? Lo lihat sendiri kayak gimana Ra. Dika tega banget sama gue. Jujur gue
merasa jijik sama dia. Tapi malah yang gue rasain, gue bingung nggak ada dia.
Kosong banget. Gue kecewa. Kenapa Dika kayak gitu Ra?! Kenapaaa?!!”
Nurmi menumpahkan semuanya.
Rasanya, kepedihan hatinya. Tersedu semakin keras yang membuat orang
disekeliling mencari tahu ada apa dengan kami. Aku masih diam, mencoba
menenangkan Nurmi yang kalut, tapi alih-alih mencari kalimat hiburan, aku
terkejut dengan pernyataan bahwa Dika gay. Ini gila. Dan aku tidak tahu bagian
itu. Nurmi mulai terkendali dan perlahan menyeka air matanya.
“Sorry, Mi. Gue nggak tau bagian
yang itu.” kataku jujur.
“Kita cari buktinya dulu yaa. Lo
tenang dulu. Lo bisa dapetin siapapun dan lupain Dika. Lo bisa, Mi. Lo kuat! Lo
nggak sendirian kok. Ada gue, ada temen-temen kita yang lain. Kita semua sayang
sama lo. Lo tenang yaaa,” aku berusaha menenangkannya. Kedai ini cukup ramai.
Kami memang suka menghabiskan waktu di sini karena wifi-nya yang super cepat.
Tempat yang tenang dengan jutaan buku-buku yang bebas dibaca dan vanilla latté
favoritlu. Tapi siang ini kepalaku jadi pusing. Aku shock. Tidak menyangka
dengan kata-kata Nurmi tentang Dika.
Aku jadi teringat Jhon. Ia juga pernah mengungkit soal percintaan sesama jenis.
Aku jadi teringat Jhon. Ia juga pernah mengungkit soal percintaan sesama jenis.
“Yah Ra, laki-laki yang gay itu
selalu tahu mana yang gay dan tidak. Mereka tidak pernah salah,” begitu
ungkapnya suatu hari saat aku bertanya padanya. Aku hanya terdiam, tak dapat
berdebat lebih jauh. Tiba-tiba suasana menjadi dingin, aku merinding. Aku ingat
sekali suatu waktu, saat aku sedang berkunjung ke facebooknya. Aku segera menatap layar laptop, memastikan apakah
dugaanku benar. Jemariku menyusuri laman facebook
dan seluruh aktivitasnya. Aku juga melihat seluruh gallery miliknya. Benar!
Ada banyak foto Dika di sana. Mereka saling kenal dan, terlihat mesra.
“Nurmi… Lo coba buka facebooknya
Jhon deh,” dengan gemetar aku berkata padanya. Nurmi menggeleng pelan, masih
dengan sisa-sisa air mata yang mengambang.
“Coba buka dulu, cepetan! Banyak
foto Dika sama Jhon. Kok gue jadi curiga yah,”
Interaksiku dengan Jhon cukup baik.
Kami memang belum jadian, bahkan sering ada saat Dika menemui Nurmi di kampus
yang otomatis ketemu aku juga. Disitu ada aku dan Nurmi, Dika datang berdua Jhon.
Bahkan di luar tanpa Nurmi dan Dika sekalipun aku jalan berdua dengan Jhon.
Entah, aku betah berlama-lama dengan Jhon. Ganteng, perhatian, dan pandai. Bisa
diajak mengobrol tentang apapun. Ekonomi, teknologi, politik, sejarah, seni,
apapun. Aku betah beradu argumen tentang apapun dengannya. Dan aku pikir hanya
masalah waktu Jhon menembakku. Sekarang aku yang panik dengan temuanku. Kenapa
malah aku berpikiran bahwa Jhon dan Dika adalah pasangan..gay? Aku mencoba
mencari pembenaran-pembenaran. Jhon tidak mungkin gay. Dika juga tidak. Aku
yakin itu. Tapi.. ah sudahlah lebih baik akup ulang saja, beristirahat.
***
“Hey Ra!”
Dika berlari, meneriakiku dari
belakang.
“Lo liat Nurmi nggak?” lanjutnya
sambil mengatur napas. Dika bertanya dengan orang yang tepat untuk mengetahui
dimana Nurmi. Memang. Semua orang tau itu. Disitu ada Nurmi disitu ada aku.
Karib sekali.
“Gue dapet laporan kalo elo gay
ya Dik?” tanpa pertahanan aku menyerang Dika. Aku bergidik jijik. Tanpa
menunggu jawaban, aku lari meninggalkan Dika sendirian.
Dug!
Aku mengaduh, dan aku menabrak seseorang di pintu depan kampus. Aku hendak minta maaf sambil melihat wajah orang yang kutabrak dan ternyata orang itu Jhon!
Aku mengaduh, dan aku menabrak seseorang di pintu depan kampus. Aku hendak minta maaf sambil melihat wajah orang yang kutabrak dan ternyata orang itu Jhon!
“Lo nggak papa Ra?”
tanya Jhon kaget karena sadar
aku yang menabraknya. “Kalo mau meluk gue, nggak udah nabrakin diri kali” Jhon
malah mrncadai aku. Aku ngeri. Lepas dari mulut buaya, masuk ke kandang singa,
pikirku. Tapi matanya malaikat.
“Nggak papa kok Jhon,” jawabku.
Aku langsung menarik diri. “Gue buru-buru. Sorry.” aku ngacir pergi
meninggalkan Jhon yang bengong.
Kepalaku pening!
Wajah mereka berdua bergantian
ada dalam bayanganku. Setiap percakapan mereka yang menggila soal Mariah Carey,
soal pakaian para lelaki di setiap majalah, soal potongan rambut yang sedang
trend. Oh gila! Aku segera menghilangkan semua keraguanku. Mereka memang gay.
Cepat-cepat aku melangkah pergi dari lobi fakuktas, mencari nurmi. Kami berdua
harus cari jalan keluar.
‘Lo harus putus sama Dika, Mi.
Harus!!’
Sent.
Ini gila. Aku shock dengan
asumsiku sendiri tentang Dika dan Jhon.
“Aku cariin kamu dari tadi. Kamu
kemana aja sih?” Suara Jhon dari belakang dan aku terpojok. Tidak bisa
kemana-mana. Tapi aku juga menikmati Jhon yang ada di hadapanku, sedekat ini.
Aku jadi bingung dengan mauku sendiri. Tiba-tiba
Jhon memelukku. Hangat.
“Aku kangen sama kamu Ra” katamu
pelan tapi jelas terdengar di telingaku. Jujur, aku menikmati belaian tangan
Jhon di kepalaku sebelum pikiran-pikiran tentang dugaan bahwa Jhon seorang gay.
Otakku perang. Hatiku yang menginginkan Jhon dan dugaan otakku yang akhirnya
membuatku sadar dan melepas pelukannya. Aku benar-benar sadar seutuhnya.
Pelukan itu tak lagi terasa getarannya. Ada yang aneh, seperti sebuah pelukan
tanpa arti apapun. Aku semakin yakin dia gay, dia tidak mencintaiku. Aku bisa
rasakan kalau aku tak lagi tertarik padanya.
“Ra, dimana?,” pesan masuk dari Nurmi. Aku
sedikit menjauhkan tubuhku dari Jhon.
“Maaf, aku harus segera menemui
Nurmi,” ucapku pelan. Aku hendak meninggalkannya tapi Jhon menahan pergelangan
tanganku.
“Sebentar Ra, ada yang mau aku
katakan,” Jhon berkata pelan, berbisik di telingaku.
“Kamu aneh. Apa yang salah
denganmu Ra, kamu selalu mengutamakan Nurmi, mengganggu nurmi yang sedang
berduaan dengan Dika, selali saja ingin bersama Nurmi sahabatmu itu sampai
melupakan aku, kamu terlihat begitu nyaman dengan nurmi sampai aku di
perlakukan begini? Dan kenapa Dika selalu saja kau ganggu hubungannya,”
Jhon menguraikan isi hatinya
sementara aku berusaha mencerna maksudnya.
“Kamu tuh, lama-lama aneh.
Berprilaku lebih dari sekadar sahabat terhadap Nurmi, kamu…”
“Cukup!”
Aku memutus pembicaraan. Aku
berlalu meninggalkan Jhon di belakangku, lebih tepatnya tak mau lagi mendengar
ungkapannua yang semakin benar apa adanya. Tapi otakku terus berputar. Tidak,
aku tidak bisa temui Nurmi sekarang. Aku harus mencari tahu. Segera aku
melangkahkan kaki menuju perpustakaan pusat di kampus ini. Tepat di belokan
sebelah kanan, di sudut ruangan terdapat perpustakan luas. Aku memasukinya dan
segera menuju buku-buku yang menyediakan jawaban atas semua pertanyaanku. Aku
mulai membaca, menyusuri setiap puluhan paragraf ysng tercetak di sana, membaca
semua teori-teori tentang gay dan, pandanganku terhenti pada bab tentang
biseksual. Kubaca seluruh isi nya, pengertian, teori, dan kasus yang terjadi.
Aku ternganga. Semua bahasannya jelas, dan menggambarkan semuanya ada padaku.
A…apa…apakah aku… Jadi yang selama ini kurasakan terhadap nurmi adalah…
Gila!!!
Kenapa sekarang aku malah
terpojok dengan pemikiran tentang aku dan Nurmi. Kepalaku rasanya mau pecah.
Aku jelas menganggap Nurmi sahabatku. Tapi aku hanya bersahabat meskipun
intensitasku bersamanya lebih sering. Kenapa Jhon menganggapku begitu? Aku
mengetik sesuatu di handphone-ku hanya tinggal menekan button ‘send’ saja.
Tapi..
“Mi, lo suka sama gue enggak?”
Spontan. Aku menekan ‘send’ dan
entah apa yang kupikirkan kenapa aku bertingkah yang mungkin aneh kepada
sahabatku sendiri.
Tunggu, kata-kata Jhon jelas
tidak benar. Aku memang dekat sekali dengan Nurmi, tapi ketertarikan kami tetap
pada lawan jenis. Bukti bahwa aku tergila-gila pada Jhon sebelumnya dan Nurmi
yang kalut saat ditinggal oleh Dika. Kami normal.
“Apaan sih lo?! Lo sahabat gue Ara.
Kurang suka apa gueee? :P”
Balasan dari Nurmi menguatkan
argumenku. Bagus. Aku dan Nurmi bebas.
Mari kembali ke Dika dan Jhon.
Aku mengurut pelipis. Apa mungkin ini hanya ekspektasi berlebihanku atas
akrabnya Dika dan Jhon seakrab aku dengan Nurmi? Tidak. Cara mereka saling
menatap saja membuatku mual. Aku bergidik dan tak berani memikirkannya lagi.
Dika juga diam saat spontan kutanya apakah dia gay atau tidak. Nurmi menarik
diri menjauhi Dika demi kebaikan. Iya, saranku saat itu. Tapi Jhon mengejarku.
Aku merasakan bahwa dia sayang padaku. Benarkah begitu?
Aku yakin sebenarnya gay
bukanlah suatu pilihan, dalam artian secara tidak sadar seseorang menjadi gay.
mau tidak mau, sadar tidak sadar, karena beberapa faktor yang membuat dia
seperti itu. Aku segera membalik-balik halaman buku perpustakaan. Di sana
tertulis bahwa seorang gay sulit untuk berubah jadi normal, atau masih ada
kecenderungan kembali jadi gay.
Mataku masih saja menelurusri semua ciri-cirinya. Ah tidak. Tidak ada sarulun yang benar
Aku tahu ada yang keliru. Baik aku, Nurmi, dika ataupum Jhon pasti sedang terhasut orang lain. Aku segera mengetik beberapa pesan, mengirimkannya pada tiga orang di waktu yang bersamaan.
Mataku masih saja menelurusri semua ciri-cirinya. Ah tidak. Tidak ada sarulun yang benar
Aku tahu ada yang keliru. Baik aku, Nurmi, dika ataupum Jhon pasti sedang terhasut orang lain. Aku segera mengetik beberapa pesan, mengirimkannya pada tiga orang di waktu yang bersamaan.
“Ketemu di taman belakang
fakultas ekonomi ya, lima menit lagi aku sampai sana,” sent.
Aku sampai di taman belakang
lebih dulu. Iya, aku yang memiliki acara. Aku akan tanya langsung ada apa
sebenarnya. Tidak hanya dugaan maupun tuduhan. Tiga menit aku duduk di bangku
taman, Nurmi menyapaku.
“Hey, Ra.. ada apa? Muka lo kusut gitu?” Tanya
Nurmi langsung.
“Gue bawa makanan nih. Nyokap
gue sengaja bawain buat lo. Kata nyokap,
“Kasian Ara anak kost kan nggak
ada yang ngurusin. Gitu katanya. Kayaknya dia lebih percaya elo daripada gue
yang anaknya deh. Hahahaha. Ada-ada aja.”
Nurmi menyerahkan kotak bekalnya
kepadaku dan aku berterma kasih kepadanya.
“Eh, lo udah nggak papa kan
tentang Dika? Gue ada yang aneh nggak, Mi?”
Tanyaku langsung ke pokok
masalah. Sebelum Nurmi menjawab, Dika
dan Jhon muncul. Wajah Dika tak terbaca. ‘Sepupuku, apa yang lo rasain ketemu
Nurmi lagi?’ Batinku. Dan Jhon yang sumringah dengan senyum lebarnya demi
melihatku.
“Hallo, kayaknya gue udah lama
nggak lihat kalian bareng. Pada marahan ya?” Sapa Jhon dengan mata yang
menatapku.
“Lo ngapain kesini?” Itu suara Nurmi
yang bertanya pada Dika.
“Gue yang ngundang Dika sama
Jhon, Mi. Kayaknya ada miskomunikasi. Jadi gue kumpulin kalian semua disini.”
Aku yang mrnjawab, menjelaskan. Dika hanya mengerling Jhon dan duduk berhadapan
denganku dan Nurmi. Nurmi masih bingung dan menatapku bertanya.
Ah, aku harus mulai darimana?
“Aku rasa ada yang salah dengan
hubungan kita. Sepertinya pasangan kita ini yang ada di sebelah kita, bukan
yanh sedang ada di hadapan lo,”
Aku akhirnya angkat bicara.
Ketiga remaja itu malah saling pandang, tertawa bersamaan, menggeleng pelan.
Terus saja tertawa cekikikkan dengan apa yang baru saja aku katakan. Padahal
sudah jelas analisaku, aku menyukai Nurmi, dan dua lelaki itu adalah gay. Tapk
mereka mengabaikanku, masih saja tertawa terpingkal-pingkal sampai aku sadar
ada sesuatu yang jatuh dari saku celana milik Jhon. Segera kuambil, dan kubaca
perlahan. Dengan saksama kulihat tulisan tangan seorang domter piskis kejiwaan
yang berpesan agar tidak terlalu serius menanggapi semua bualan sang pasien
karena terlalu berlebihan dalam berimajinasi. Pasien itu… Namaku tertera di
kertas itu.
Aku membolak-balik dengan mata
tidak percaya. Gila! Dokter kejiwaan mana yang menganggapku gila? Aku bahkan
bisa berpikir normal dan wajar dengan mengadakan interograsi lansung ini. Aku
merah padam. ‘Nggak sopan!’ Batinku. Tapi kalian semua tertawa. Tunggu, kertas
itu kubaca ulang. Dan saat kubalik ada huruf kapital dibalik pernyataan gila
milikku.
‘GUE NGGAK PEDULI. GUE SAYANG
SAMA ARA, DUL. LO TUH YANG GILA! HAHAHAHA’
yang memang khas tulisan ceker
ayamnya Jhon. Aku balik lagi kertas yang mungkin sengaja dijatuhkan oleh Jhon
dari tadi tapi aku baru menyadarinya. Dokter spesialis kejiwaan yang tanda
tangan itu bernama Dika Nugraha. Sebelum aku berteriak marah tentang apa maksud
semua ini, ketiganya berseru
“APRIL MOPPPP!” Ketiganya
tertawa. Bahagia sekali.
‘Sial!’ Batinku. Dika dan Nurmi
tidak ada masalah. Nurmi sengaja memanfaatkan sifat kekhawatiranku untuk
mengerjaiku dengan bilang bahwa Dika gay. Sahabatku lh yang gila. Aku masih
kesal. Mereka berpelukan di depanku sambil tertawa malah. Pasangan gila. Aku
melirik tajam ke Nurmi dan Dika. Mereka terpingkal.
Jhon mengacak rambutku, dia
tidak tertawa sekeras Dika dan Nurmi. Tapi dia ternyata menyembunyikan sebuket
bunga Lily putih kesukaanku di bawah bangku.
“Maukah kamu jadi pacarku?”
Tanya Jhon hati-hati. Dika Nurmi
masih cekikikan.
Dan kali ini, aku yang tertawa
berderai-derai. Aku sayang kalian semua, teman-teman.
Kolaborasi Sarah Susanti dan Uni
Dzalika
Tidak ada komentar:
Ada pertanyaan atau kamu ada masukan?
Ditunggu komentarnya!:)