Paman Toto tinggal di desa kecil di seberang sungai yang kata orang dikenal dengan markas ikan berdaging manis.
Ikan di desa tersebut memang sudah lama terkenal dan oleh karenanya selalu dicari penduduk segala penjuru negeri. Setiap sehabis menyiram tanaman di pagi hari, Paman Toto akan duduk-duduk di sungai. Sejak sepuluh tahun lalu ia memang rajin mengunjungi sungai, dengan bekal makan siang yang sudah dipersiapkan sebelumnya dari rumah. Sepuluh tahun yang lalu, sebelum istri Paman Toto meninggal, mereka selalu makan siang di pinggir sungai berdua.
Di bawah pohon Randu yang rindang, di area yang tak terlalu ramai dengan para penangkap ikan, mereka biasa menghabiskan bekal bersama. Lalu Paman Toto akan memancing untuk makan malam mereka.
“Hari ini biar aku yang menyiapkan bekalnya ya. akan aku buatkan masakan paling enak untukmu” terngiang ucapan mendiang istri paman Toto sepuluh tahun silam. Paman Toto tertawa renyah. Istrinya itu memang paling pandai membuatkan makanan. Dulu, penduduk desa disini semuanya ramah pada keluarga Paman Toto. padahal semua orang tahu Paman Toto sangat galak. Menginjak rumput depan rumahnya saja, akan diteriaki oleh paman Toto. Namun istrinya yang berhati lembut itu mampu mengimbangi sifat paman Toto. Mamah Dina, begitu semua orang memanggil istri paman Toto. Semua penduduk desa merasa tentram, damai, dan bahagia dengan adanya mamah Dina yang selalu menyapa siapa saja yang lewat, juga tak sungkan membuatkan bekal untuk para pemancing di sebrang rumahnya. Tapi itu sepuluh tahun yang lalu. saat akhirnya nyawa mamah Dina sudah tak terselamatkan, desa ini menjadi sepi. Hutan mulai tandus, cuaca mendung setiap waktu, daun-daun berguguran, ikan kecil pun seolah enggan berenang di sungai. Semua seakan kehilangan Mamah Dina.
“Ah, Dina. Andai saja kau masih hidup” desah paman Toto. ia menghentikan aktivitasnya memotong rumput.
“Ayah!” Tiba-tiba ada suara perempuan yang memanggilnya dari arah pagar.
“Lesta! Kamu dengan siapa kemari? Kamu tak tahu sekarang banyak kasus penculikan? Kalau hendak kemari mintalah seseorang untuk mengantar,” Paman Toto menjawab dengan ketus namun di dalam hatinya ia merasa sangat bersyukur melihat Lesta, anak perempuan satu-satunya datang. Gadis ini tinggal di desa sebelah setelah memutuskan untuk menjadi pengajar di sekolah dasar yang dikelolanya bersama seorang teman, meski masih melajang, ia terlalu sibuk untuk menengok Paman Toto sepekan sekali. Lesta mirip sekali Mamah Dina, tidak ada yang berbeda kecuali hidung kecilnya, hidung Paman Toto.
“Aku kan kangen, Yah.. Kok malah dimarahi sih?” Tanya Lesta manja.
“Ayah! Mengapa di waktu seperti ini Ayah masih saja mengurusi tanaman itu?," Paman Toto memandang anak perempuan satu-satunya dengan pandangan yang mulai berkabut. Air mata sepertinya hendak jatuh selayaknya gerimis yang tak tahan ingin mendarat di bumi. Ia kangen sekali pada Dina, dan Lesta berhasil membawa semua kerinduan itu ke pelupuk matanya yang kini terlalu keberatan menahan air terjun yang semakin membuncah itu.
Paman Toto hanya menyeka sedikit air mata sambil memeluk Lesta,
“Lesta, Ayah rindu.”, Lesta mendekap Paman Toto, sesaat mereka tenggelam dalam pertemuan yang mengobati rindu yang membuat ngilu.
“Ayah, Lesta punya berita penting...”, Paman Toto memandang anaknya dengan tatapan penasaran dan entah kenapa sedih di saat bersamaan.
“Ada apa? Kamu mau cerita apa?,” jawab Paman Toto.
“Hasil chek-up Ayah sudah keluar, dan Ayah tak boleh terlalu berlama-lama di halaman rumah, Ayah tidak boleh terlalu capek, sakit di kepala Ayah ternyata disebabkan oleh tekanan darah yang terlalu tinggi.”
“Aku baik-baik saja Lesta… tidak perlu khawatirkan aku. Ayahmu ini punya kewajiban mengurusi tanaman-tanaman itu, juga mengurus keponakan-keponakanmu. jangan khawatirkan aku,” Paman Toto memegang pundak Lesta, meyakinkan anaknya bahwa ia baik-baik saja.
“Daripada kau terus memikirkan penyakit Ayah, sebaiknya kau masuk. keponakanmu sudah menunggu di dalam. Kakakmu sudah memasakkan asparagus untuk kita.”
“Tapi Ayah…”
“Tidak pakai tapi. Cepat masuk Lesta.” Paman Toto menarik lengan Lesta. Ia tahu belakangan ini penyakitnya itu memang meminta banyak waktu untuk di perhatikan. Tapi buat Paman Toto, kebahagian anak cucunya sekarang adalah yang paling penting. Toh kalau ia harus mati, ia rela.
Bukankah itu pertanda bahwa Ia akan menyusul istri tercintanya, Dina?
Renta. Sudah hampir kepala delapan umur Paman Toto. Hidupnya kini hanya ingin mengabdi pada keluarga dan kerabat dekat. ia tak mau galak pada anak-anak kecil yang suka memetik asal bunga-bunga di taman Paman Toto. Ia ingin hidup damai.
Lesta senang akhirnya dapat meluangkan waktunya untuk makan malam bersama keluarga mereka, Paman Toto terlihat terus menerus tersenyum. Diana, cucu perempuannya pun merasa nyaman duduk di pangkuan beliau. Sambil mendengar cerita tentang anak-anak didik di sekolah Lesta, Paman Toto menyuapi Diana. Namun tiba- tiba Diana merasa tak nyaman di pangkuan kakeknya,
“Kakek.. Kakek sedang apa? Kalau sudah makan aku mau lihat ikan di taman belakang ya, Kek!” ajak Diana.
Paman Toto diam saja, udara tiba-tiba berubah dingin dan sepi menyeruak diantara kepanikan yang tetiba menjelma, lalu seakan kesadaran telah kembali seluruh penghuni meja makan malam itu mendongak sambil berteriak, “Ayah!”,
namun mereka hanya dapat melihat ia tersenyum, kaku di kursi sambil menjatuhkan sendok untuk suapan terakhir Diana. Paman Toto tercinta, seorang Ayah dan Kakek yang dicintai penduduk desa ini, menutup hari ini dengan senyum bahagia, memangku cucunya dengan kaku namun damai, dikelilingi cinta yang terlalu suci untuk terkhianati. Mamah Dina sudah menunggu rupanya. Dengan lembut Paman Toto mengecup damai di ujung hari, menyongsong waktu di hari baru, hari bertemu istrinya kembali.
Hasil kolaborasi perempuan pecinta sastra : @nengayuu dan @unidzalika
Published with Blogger-droid v2.0.10
Tidak ada komentar:
Ada pertanyaan atau kamu ada masukan?
Ditunggu komentarnya!:)